SBY: Semoga Pertemuan Joe Biden dengan Xi Jinping di Bali, Membuat Dunia Aman, Adil dan Sejahtera
Bambang Yudhoyono angkat bicara terkait rencana pertemuan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Bali.
Editor: Wahyu Aji
"Inilah yang kerap disebut sebagai "red line" dalam dunia politik dan hubungan internasional. Misalnya, bagi Tiongkok mungkin campur tangan AS yang terlalu jauh terhadap urusan Tiongkok-Taiwan adalah sebuah "red line". Mungkin juga sebaliknya bagi AS, penggunaan instrumen militer Tiongkok dan menyelesaikan sengketa dengan Taiwan dan juga dengan sejumlah negara di kawasan dalam sengketa teritori Laut Tiongkok Selatan juga dianggap "red line". Barangkali masih ada lagi yang bagi kedua belah pihak dianggap sebagai "red line", paling tidak sikap dan tindakan yang dianggap tidak bisa diterima," katanya.
Pertemuan Biden-Xi Jinping di Bali ini mungkin tidak memenuhi harapan banyak pihak, terutama bagi yang berharap setelah pertemuan kedua presiden itu situasinya akan segera berubah.
Berubah dalam arti hubungan bilateral mereka kembali normal dan keduanya (dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya) bisa langsung berkontribusi untuk kebaikan dunia. Harapan seperti ini mungkin saat ini terlalu jauh.
Bagi yang memiliki pengalaman yang panjang dalam "conflict resolution", termasuk pengalaman pribadi saya dalam penyelesaian konflik baik di dalam negeri maupun di dunia internasional, semuanya memerlukan proses. Tak ada jalan pintas dan tak mungkin pula ada hasil besar yang diperoleh secara instan.
Baca juga: Tiba di Bali Disambut Sandiaga Uno, Presiden Amerika Serikat Joe Biden Ucap Tiga Kata Ini
"Menutup tulisan singkat ini, saya ingin menyampaikan pandangan saya mengapa dunia memerlukan "kebersamaan" AS dan Tiongkok untuk mengatasi berbagai isu kritis dan fundamental pada tingat global, baik jangka pendek maupun jangka panjang," kata SBY.
Pertama, AS dan Tiongkok memiliki tanggung jawab sangat besar untuk mengatasi ancaman "climate change" dan "global warming", yang jika dunia gagal maka di akhir abad ini manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan tak lagi bisa hidup di bumi ini.
"Inilah yang menurut saya sebagai "survival interest" bagi seluruh negara. Saya masih percaya bahwa geopolitik yang sangat konfrontatif, bahkan sebuah peperangan, masih bisa dicarikan solusinya. Sebuah krisis ekonomi, yang kerap terjadi di dunia, juga ada jalan untuk menstabilkan dan memulihkan kembali. Tetapi, jika kenaikan suhu global menembus angka 4 derajat dari suhu era pra-industri, maka di akhir abad 21 ini "kiamatlah" dunia kita," ujarnya.
SBY lalu menjelaskan alasan dirinya berpendapat AS dan Tiongkok punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan bumi dari perubahan iklim.
Pertama, Tiongkok dan kemudian Amerika Serikat adalah penyumbang emisi karbon terbesar di dunia (the biggest emitters) yang menyebabkan bumi makin panas.
Baik secara moral maupun "real actions" keduanya mesti berdiri di garis depan dalam mencegah bumi kita tak makin panas. Alasan kedua, kedua negara itu punya sumber daya, termasuk sumber daya keuangan yang besar, untuk digunakan dalam memerangi perubahan iklim.
Dengan demikian, bersama-sama, keduanya harus bisa bertindak sebagai "juru selamat" bumi kita, tentu dengan kontribusi seluruh negara di dunia. Tanpa Tiongkok dan AS, seluruh upaya untuk memerangi perubahan iklim tidak akan berhasil.
Alasan kedua, situasi geopolitik dan keamanan di Asia Timur dan Asia Tenggara sangat ditentukan oleh terbangunnya niat baik dan "mutual agreement" di antara AS dan Tiongkok untuk keduanya tidak menabrak "red line" dan kesedian untuk mengurangi tensi politik yang tinggi dewasa ini.
"Bahkan, hubungan baik kedua negara adi kuasa ini juga bisa mencegah makin memanasnya situasi di Semenanjung Korea dan Jepang. Kalau saya lanjutkan, hubungan baik mereka juga bisa membuka jalan baru, pendekatan baru, bagi pengakhiran peperangan di Ukraina yang dampaknya juga membuat tekanan besar bagi perekonomian dunia. Kedekatan Xi Jinping dengan Putin, bisa menjadikan pemimpin kuat Tiongkok itu sebagai jembatan yang dapat mengurangi kemacetan dan kemandegan diplomasi," katanya.
Tentu masih banyak lagi alasan yang lain perlunya AS dan Tiongkok dapat "bekerjasama" dalam mengatasi berbagai permasalahan kritis pada tingkat dunia.