Latvia Desak Negara Barat Untuk Tingkatkan Bantuan Militer Bagi Ukraina
Presiden Latvia Egils Levits telah mendesak negara Barat untuk meningkatkan dukungan militer bagi Ukraina demi menghadapi potensi serangan baru
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, RIGA – Presiden Latvia Egils Levits telah mendesak negara-negara Barat untuk meningkatkan dukungan militer bagi Ukraina demi menghadapi potensi serangan baru dari Rusia pada Februari mendatang.
“Kita harus memberikan semua dukungan yang diperlukan ke Ukraina terutama karena Rusia sedang mempersiapkan serangan di Ukraina pada Februari.
Oleh karena itu, Ukraina harus memiliki semua senjata yang diperlukan dan dukungan untuk melawan serangan ini,” kata Levits, melansir Aljazeera.
Baca juga: Direktur CIA Lakukan Perjalanan Rahasia ke Kiev Sebelum Pecahnya Konflik Ukraina
“Negara-negara Barat harus segera mengirimkan kendaraan lapis baja ke Ukraina,” imbuhnya.
Pernyataan Levits datang saat Inggris menjadi negara Barat pertama yang berjanji akan mengirim kendaraan lapis baja ke Ukraina.
Polandia dan Finlandia juga telah bersedia untuk memasok Kyiv dengan tank buatan Jerman, tetapi langkah itu membutuhkan persetujuan dari Berlin.
Di samping itu, Levits juga menegaskan perlunya membentuk pengadilan khusus yang akan mengadili kepemimpinan Rusia atas kejahatan agresi.
“Ini adalah pelanggaran terbesar terhadap hukum internasional dan ketertiban perdamaian. Untuk kejahatan agresi ini, tidak ada pengadilan internasional yang dapat menangani masalah itu,” ujar Levits seraya mengatakan bahwa dirinya akan mendukung dibentuknya pengadilan khusus agresi Rusia terhadap Ukraina.
Baca juga: Rusia Hujani Kompleks PLTN Kyiv dengan Rudal, Pasokan Listrik Ukraina Langsung Defisit Hebat
Adapun dorongan untuk membentuk pengadilan khusus mendapat momentum pada akhir tahun lalu ketika Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mendukung proposal tersebut.
Segera setelah itu, Prancis menjadi negara Eropa pertama yang secara terbuka menyatakan dukungannya dan pada Senin (16/1/2023) Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menekankan perlunya membentuk pengadilan untuk mengisi "celah dalam hukum internasional".