Jutaan Pekerja di China Mudik Imlek, Padati Stasiun dan Bandara
Ekonom dan analis mencermati adanya rebound konsumsi di seluruh ekonomi terbesar kedua dunia itu pada musim liburan Imlek
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Jutaan pekerja di perkotaan di China melakukan perjalanan ke daerah asalnya menjelang puncak mudik Tahun Baru Imlek yang diperkirakan terjadi pada Jumat (20/1/2023).
Setelah pihak berwenang China pada bulan lalu mengakhiri beberapa pembatasan COVID-19 yang ketat, para pekerja memadati stasiun kereta api dan bandara untuk menuju ke kampung halaman mereka, sebuah perjalanan yang memicu kekhawatiran akan meluasnya wabah virus corona.
Melansir dari Reuters, ekonom dan analis mencermati adanya rebound konsumsi di seluruh ekonomi terbesar kedua dunia itu pada musim liburan tersebut, yang dikenal sebagai Festival Musim Semi, setelah data PDB baru yang dirilis pada Selasa (17/1/2023) mengonfirmasi perlambatan ekonomi yang tajam di China.
Perlambatan yang berlarut-larut dapat memperburuk tantangan kebijakan yang dihadapi Presiden Xi Jinping, yang harus menenangkan generasi muda yang turun ke jalan pada November dalam protes bersejarah untuk menentang kebijakan "nol-COVID" yang dia perjuangkan saat itu.
Sementara beberapa analis memperkirakan pemulihan ekonomi akan lambat, Wakil Perdana Menteri China Liu He menyatakan kepada Forum Ekonomi Dunia di Swiss pada Selasa, China "terbuka untuk dunia setelah tiga tahun menjalan isolasi pandemi".
Pejabat Administrasi Imigrasi Nasional China mengungkapkan, rata-rata setengah juta orang telah masuk atau keluar dari China setiap harinya sejak perbatasannya dibuka pada 8 Januari, menurut laporan media pemerintah negara itu.
Baca juga: Penyusutan Populasi China Bawa Malapetaka, Utang Melonjak di Tengah Anjloknya Pendapatan
Namun ketika para pekerja membanjiri kota-kota besar, seperti Shanghai, di mana para pejabat mengatakan virus corona telah mencapai puncaknya, banyak yang pergi ke kota-kota dan desa-desa di mana lansia yang tidak divaksinasi belum terpapar COVID-19 dan sistem perawatan kesehatan kurang lengkap.
Saat lonjakan COVID-19 meningkat, beberapa orang melupakan wabah tersebut saat mereka menuju ke stasiun atau bandara.
Para pelancong yang terlihat sibuk melalui stasiun kereta api dan kereta bawah tanah di Beijing dan Shanghai, banyak yang mengangkut koper beroda besar dan kotak berisi makanan dan hadiah.
Baca juga: Perlambatan Ekonomi Global Bikin Barang Made In China Alami Penurunan
"Dulu saya sedikit khawatir (tentang wabah COVID-19)," kata pekerja Jiang Zhiguang, yang menunggu kereta api di antara kerumunan orang di Stasiun Hongqiao Shanghai.
"Sekarang tidak masalah lagi. Sekarang tidak apa-apa jika Anda terinfeksi. Anda hanya akan sakit selama dua hari saja," ungkapnya.
Sementara pekerja lain kembali ke kampung halamannya untuk meratapi kerabat yang telah meninggal. Bagi sebagian dari mereka, duka cita itu bercampur dengan kemarahan atas apa yang mereka katakan sebagai kurangnya persiapan pemerintah China untuk melindungi lansia yang rentan sebelum pejabat mencabut pembatasan COVID-19 pada awal Desember.
Tingkat infeksi COVID-19 di kota Guangzhou, ibu kota provinsi terpadat di China yaitu Guangdong, kini telah melewati 85 persen, menurut pengumuman yang diberikan pejabat kesehatan setempat hari ini, Rabu (18/1/2023).
Baca juga: Populasi China Turun Pertama Kali dalam 60 Tahun Terakhir
Di daerah yang lebih terpencil dan jauh dari wabah COVID-19 perkotaan yang cepat, pekerja medis China minggu ini pergi dari rumah ke rumah di beberapa desa terpencil untuk memvaksinasi orang tua.
Klinik-klinik di pedesaan dan kota-kota kini dilengkapi dengan oksigenator, dan kendaraan medis juga dikerahkan ke tempat-tempat yang dianggap berisiko.
Sementara pihak berwenang mengonfirmasi pada Sabtu (14/1/2023) adanya peningkatan besar dalam kematian, dengan mengumumkan bahwa hampir 60.000 orang dengan COVID-19 telah meninggal di rumah sakit antara 8 Desember dan 12 Januari, menurut laporan media pemerintah China.
Secara khusus, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menginginkan informasi mengenai kematian berlebih atau jumlah semua kematian selama krisis pandemi COVID-19 di China, kata WHO dalam sebuah pernyataan pada Selasa.
The Global Times, sebuah tabloid yang berada di bawah naungan surat kabar resmi China People's Daily, mengutip para pakar di negara itu yang mengatakan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China sudah memantau data tersebut, tetapi akan memakan waktu sebelum dapat dirilis.