Iran Selidiki Kasus Keracunan Gas 650 Siswi, Racun Diduga Sengaja Disebar agar Sekolah Tutup
Seorang menteri senior Iran mengklaim bahwa ratusan siswi di negara itu sengaja diracuni.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Setidaknya 650 siswa perempuan keracunan gas beracun di Iran sejak November 2022.
Kasus keracunan itu diyakini banyak orang sebagai upaya yang disengaja untuk membuat sekolah mereka ditutup, BBC.com melaporkan.
Tidak ada anak perempuan yang meninggal.
Tetapi puluhan orang menderita masalah pernapasan, mual, pusing, dan kelelahan.
“Terbukti bahwa beberapa orang menginginkan semua sekolah, terutama sekolah perempuan, ditutup,” kata wakil menteri kesehatan Younes Panahi pada hari Minggu (26/2/2023).
Namun, dia kemudian mengatakan bahwa pernyataannya telah disalahtafsirkan.
Baca juga: Anak Cheetah Asia yang Terancam Punah di Iran Bernama Pirouz Mati karena Gagal Ginjal Akut
Jaksa Agung mengumumkan minggu lalu bahwa pihaknya telah membuka penyelidikan kriminal.
Tetapi ia mengatakan bahwa informasi yang tersedia hanya mengindikasikan "kemungkinan tindakan kriminal dan tindakan terencana".
Sementara itu, frustrasi publik terus tumbuh.
Keracunan pertama terjadi pada 30 November, ketika 18 siswa dari Sekolah Teknik Nour di kota religius Qom dibawa ke rumah sakit.
Sejak saat itu, lebih dari 10 sekolah perempuan menjadi sasaran di provinsi sekitarnya.
Sedikitnya 194 anak perempuan dilaporkan telah diracun dalam sepekan terakhir di empat sekolah di Kota Borujerd, di provinsi barat Lorestan.
Gadis-gadis yang diracuni melaporkan mencium bau jeruk keprok atau ikan busuk sebelum jatuh sakit.
Awal bulan Februari, setidaknya 100 orang melakukan protes di luar kantor gubernur di Qom.
Baca juga: Dendam Atas Pembunuhan Qassem Soleimani, Iran Masih Bertekad Bunuh Trump, Pompeo hingga McKenzie
"Kalian berkewajiban untuk memastikan keselamatan anak-anak saya! Saya punya dua anak perempuan," teriak seorang ayah dalam video yang dibagikan secara luas di media sosial.
"Dua anak perempuan... dan yang bisa kulakukan hanyalah tidak membiarkan mereka pergi ke sekolah."
"Ini perang!" ujar seorang wanita.
"Mereka melakukan ini di sekolah menengah perempuan di Qom untuk memaksa kami duduk di rumah."
"Mereka ingin perempuan tinggal di rumah."
Beberapa orang tua mengatakan anak-anak mereka sakit selama berminggu-minggu setelah keracunan.
Video lain dari sebuah rumah sakit menunjukkan seorang gadis remaja terbaring linglung di tempat tidur, dengan ibunya di sampingnya.
"Para ibu terkasih, saya seorang ibu dan anak saya berada di ranjang rumah sakit dan anggota tubuhnya lemah," kata ibu yang putus asa itu.
"Saya mencubitnya tapi dia tidak merasakan apa-apa."
"Tolong jangan kirim anakmu ke sekolah."
Pada konferensi pers pada hari Minggu, Younes Panahi mengatakan gadis-gadis itu telah diracuni oleh bahan kimia yang "tersedia untuk umum dan bukan dari kelas militer".
"Para murid tidak memerlukan perawatan invasif dan perlu untuk tetap tenang," tambahnya.
Komentar Panahi yang menyebut "terbukti beberapa orang ingin semua sekolah ... ditutup" tampaknya mengkonfirmasi bahwa pemerintah yakin kasus peracunan itu telah direncanakan sebelumnya.
Kasus keracunan terutama terkonsentrasi di Qom, sebuah kota yang menjadi rumah bagi tempat suci Muslim Syiah yang penting dan kepemimpinan agama yang menjadi tulang punggung Republik Islam.
Sejak September, lembaga ulama telah ditentang oleh protes massa yang meletus setelah kematian seorang wanita muda Kurdi, Mahsa Amini, yang ditahan oleh polisi moralitas karena diduga tidak mengenakan jilbabnya dengan benar.
Beberapa orang Iran berspekulasi bahwa para siswi diracuni sebagai "pembalasan" atas peran mereka dalam kerusuhan.
Yang lain berspekulasi bahwa peracunan itu adalah ulah kelompok garis keras yang ingin "meniru" Taliban di Afghanistan dan kelompok militan Islam Boko Haram di Nigeria dengan meneror para orang tua agar berhenti menyekolahkan anak perempuan mereka.
"Apakah Boko Haram datang ke Iran?" tanya mantan Wakil Presiden Mohammad Ali Abtahi dalam sebuah postingan Instagram.
Politisi reformis itu juga memperingatkan bahwa "ekstremis akan menginterpretasikan batas-batas pemerintahan dan agama demi keuntungan mereka".
Para pemimpin Iran secara umum menolak kritik terhadap pembatasannya terhadap perempuan, seperti kewajiban jilbab.
Iran justru membual tentang jumlah perempuan yang masuk universitas.
Tetapi jika gadis-gadis muda tidak menyelesaikan sekolahnya, kuliah hanyalah mimpi.
Komentar seorang siswi, yang mengatakan dia telah diracun dua kali, pada pertemuan dengan gubernur Qom awal bulan ini menyoroti betapa kabur dan menyesatkannya beberapa pernyataan dari pihak berwenang.
"Mereka para pejabat memberi tahu kami: 'Semua baik-baik saja, kami telah melakukan penyelidikan'."
"Tetapi ketika ayah saya bertanya di sekolah saya, mereka mengatakan kepadanya: 'Maaf, CCTV telah mati selama seminggu dan kami tidak dapat menyelidikinya'," katanya.
"Dan ketika saya diracun untuk kedua kalinya pada hari Minggu, kepala sekolah berkata:
"Dia memiliki penyakit jantung, itu sebabnya dia dirawat di rumah sakit'."
Tapi nyatanya ia tidak punya penyakit jantung.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)