Rusia dan China Tanda Tangani Kerja Sama Ekonomi di Tengah Kritik Barat
Meski ada kritik dari Barat, Rusia dan China menandatangani sejumlah perjanjian ekonomi.
Penulis: Nuryanti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Rusia dan China telah menandatangani sejumlah perjanjian ekonomi.
Kerja sama tersebut terjadi di tengah kritik Barat atas hubungan kedua negara saat perang di Ukraina berlarut-larut.
Perdana Menteri Rusia, Mikhail Mishustin, mengunjungi China pada Rabu (24/5/2023).
Mikhail Mishustin bertemu Presiden China, Xi Jinping, dan Perdana Menteri China, Li Qiang.
Xi Jinping menyampaikan, China dan Rusia akan terus saling menawarkan dukungan kuat pada isu-isu yang menyangkut kepentingan inti masing-masing dan memperkuat kolaborasi di arena multilateral.
Menurutnya, kedua negara harus mendorong kerja sama di berbagai bidang ke tingkat yang lebih tinggi.
Baca juga: ChatGPT: Bisakah China menyalip AS dalam perlombaan mengembangkan kecerdasan buatan?
Selain itu, kedua negara harus meningkatkan kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi.
Sementara itu, kepada Li Qiang, Mishustin mengatakan hubungan antara Rusia dan China berada pada tingkat tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Mereka dicirikan dengan saling menghormati kepentingan satu sama lain, keinginan untuk bersama-sama menjawab tantangan, yang terkait dengan meningkatnya pergolakan di arena internasional dan pola tekanan sensasional dari kolektif Barat," ungkap Mishustin, Rabu, dilansir DW.
Isi Nota kesepahaman
Kedua pemimpin menandatangani beberapa nota kesepahaman.
Nota kesepahaman yang ditandatangani mencakup kesepakatan untuk memperdalam kerja sama investasi di bidang jasa perdagangan, pakta ekspor produk pertanian ke China, dan kerja sama olahraga.
Pengiriman energi Rusia ke China diproyeksikan meningkat 40 persen pada 2023 ini.
Baca juga: Arloji Kaisar Terakhir Kaisar Dinasti Qing China Dilelang, Laku 6,2 Juta Dolar AS
Kedua negara juga sedang mendiskusikan pasokan peralatan teknologi ke Rusia, lapor kantor berita Interfax.
“Dengan sanksi terhadap Rusia memberikan peluang baru bagi China, tidak mengherankan bahwa China akan dengan senang hati terlibat secara aktif, jika tidak secara proaktif, dengan Rusia secara ekonomi, selama hubungan apa pun yang mereka jalin tidak akan memicu sanksi sekunder terhadap China,” ujar Direktur School of Oriental and African Studies (SOAS) China Institute di London, Steve Tsang, Rabu, dikutip dari Reuters.
"Kebijakan China terhadap perang di Ukraina adalah salah satu menyatakan netralitas, mendukung Putin dan tidak membayar harga, dan kunjungan tersebut menegaskannya kembali, terutama elemen pendukung Putin," jelas Tsang.
Baca juga: Bela Ukraina, Pasukan Anti-Putin Ingin Luncurkan Lebih Banyak Serangan di Perbatasan Rusia
Diberitakan The Guardian, Mikhail Mishustin adalah pejabat Rusia berpangkat tertinggi yang mengunjungi Beijing sejak dimulainya perang di Ukraina.
Pada Maret 2023, Xi Jinping mengunjungi Vladimir Putin di Moskow untuk menunjukkan dukungan bagi 'sahabatnya'.
China telah mengklaim sebagai mediator netral dalam perang di Ukraina.
Namun, China dan Rusia semakin dekat sejak dimulainya invasi.
Adapun kunjungan Mishustin ke China, terjadi setelah para pemimpin G7 meminta Rusia dan China untuk lebih transparan tentang persenjataan nuklir mereka.
Pada Selasa (23/5/2023), Wakil Menteri Luar Negeri Rusia mengatakan, pernyataan G7 dirancang untuk memberikan tekanan psikologis dan militer-politik pada Rusia dan China.
Baca juga: Klaim Kuasai Bakhmut, Rusia Segera Dirikan Pemerintah Wilayah dan Hapus Ranjau
Sebagai informasi, China adalah mitra dagang terbesar Rusia.
China mengesampingkan upaya Barat untuk menghubungkan kemitraannya dengan Rusia dengan perang di Ukraina.
China pun menekankan bahwa hubungan antara Moskow dan Beijing tidak melanggar norma internasional.
Dengan perang di Ukraina pada tahun keduanya, Rusia semakin merasakan beban sanksi Barat.
Rusia disebut bersandar pada Beijing untuk mendapatkan dukungan.
Hal itu jauh lebih banyak daripada China pada Rusia, yang memenuhi permintaan China akan minyak dan gas.
(Tribunnews.com/Nuryanti)