Kontroversi Benjamin Netanyahu, PM Israel yang Kini Berjuang Melawan Maut dengan Alat Pacu Jantung
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dikenal sebagai salah satu pemimpin sayap kanan paling kejam dalam sejarah Israel.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV - Kehidupan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (73) tidak pernah lepas dari kontroversi. Dia dikenal sebagai salah satu pemimpin sayap kanan paling kejam dalam sejarah Israel.
Benjamin Netanyahu selalu terlihat berupaya menyeimbangkan tekanan bersaing dari sekutu utama Israel, Amerika Serikat (AS) dan sayap kanan Israel yang bergolak.
Janji abadinya adalah 'membela Israel dan orang-orang Yahudi'. Di tahun 2010, dia pernah menyatakan belum mengetahui tantangan apa yag menanti kaum Yahudi di abad 21.
Saat itu yang terbayang olehnya adalah menjauhkan kaum ini dari aksi kelam yang pernah dialami bangsa Yahudi pada abad ke-20, yakni Holocaust.
"Belum ada yang tahu apa yang menanti orang Yahudi di abad ke-21, namun kita harus melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa itu lebih baik daripada apa yang menimpa mereka di abad ke-20, Holocaust," kata Netanyahu.
Namun saat sudah memasuki abad 21, tantangan Israel justru terpaku pada perang tanpa akhir dengan Palestina.
Benjamin Netanyahu merupakan pemimpin partai sayap kanan Likud. Dia terpilih sebagai perdana menteri Israel pertama kalinya pada 1996 untuk periode jabatan hingga 1999.
DIa kemudian kembali terpilih jadi perdana menteri Israel pada 2009, menyusul hasil pemilihan parlemen yang membuat partai Kadima yang berhaluan tengah memenangkan kursi terbanyak, namun tidak cukup untuk membentuk pemerintahan koalisi.
Baca juga: PM Israel Benjamin Netanyahu Dipasangi Alat Pacu Jantung, Dirawat di Rumah Sakit
Benjamin Netanyahu kehilangan jabatan saat Partai Buruh menggulingkan partainya di tempat pemungutan suara, dan Ariel Sharon mengambil alih kepemimpinan Likud.
Pada 2005, tepat sebelum serangan hebat yang membuatnya koma, Sharon berpisah dari Likud untuk mendirikan partai Kadima.
Kepergiannya membuka pintu bagi Netanyahu untuk merebut kembali kendali Partai Likud.
Pengkritik sengit Partai Kadima
Benjamin Netanyahu menjadi pengkritik sengit koalisi pimpinan Kadima dan penerus Sharon, Ehud Olmert.
Ia mengecam Olmert karena mengatakan bahwa 'kelangsungan hidup Israel bergantung pada tercapainya penyelesaian damai dengan Palestina'.
Disebut secara luas di Israel dengan julukannya sebagai Bibi, Netanyahu adalah pemimpin Israel pertama yang lahir setelah pembentukan negara Yahudi pada 1948.
Baca juga: Disebut Sempat Pingsan, Benjamin Netanyahu Jalani Operasi Jantung
Ia menghabiskan tahun-tahun sekolah menengahnya di AS, kemudian menjalani tugas lima tahun di Pasukan Pertahanan Israel, di mana dirinya menjadi kapten di unit komando elit.
Dia lalu kembali ke AS untuk kuliah dan menerima gelar B.S. dalam arsitektur dari Massachusetts Institute of Technology, gelar M.S. dari MIT Sloan School of Management dan belajar ilmu politik di Universitas Harvard serta MIT.
Netanyahu kemudian bekerja selama enam tahun di sektor swasta sebelum bekerja di Kedutaan Besar Israel di Washington.
Baca juga: Netanyahu Berjanji Musuh-musuh Israel akan Membayar Harga untuk Setiap Tindakan Agresi
Dia pernah menjadi duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dari 1984 hingga 1988. Setelah kembali ke Israel, dirinya terpilih menjadi anggota Knesset pada 1988 dan menjadi pemimpin partai Likud pada 1993.
Kesepakatan damai yang sulit dipahami
Dikutip dari NBC News, Minggu (23/7/2023), selama tugas pertamanya sebagai perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu menekankan kebijakan tiga larangan.
Mulai dari tidak ada penarikan dari Dataran Tinggi Golan, tidak ada penarikan atau bahkan pembahasan kasus Yerusalem dan tidak ada negosiasi di bawah prasyarat apapun.
Namun, Netanyahu mengakui perlunya solusi dua negara.
Dia setuju menyerahkan 80 persen wilayah Hebron pada 1997 ke kendali Otoritas Palestina dan tahun berikutnya menandatangani Memorandum Sungai Wye yang menguraikan penarikan lebih lanjut dari Tepi Barat, tindakan yang oleh beberapa kritikus sayap kanannya dicirikan sebagai penyerahan diri.
Namun hingga saat ini, kesepakatan damai antara Israel dan Palestina masih jauh dari harapan, dan banyak yang menyalahkan Netanyahu atas kebuntuan tersebut.
Pada 2010, saat masih menjadi Wakil Presiden AS, Joe Biden mencoba memulai pembicaraan damai antara Israel dan Palestina.
Namun Israel mempermalukan AS dengan mengumumkan rencana untuk membangun rumah baru bagi orang Yahudi di tanah yang disengketakan yakni Yerusalem Timur, area yang memiliki populasi Arab yang banyak serta diklaim orang Palestina sebagai ibu kota masa depan.
Hillary Clinton yang menjabat sebagai Menteri Luan Negeri AS saat itu mengatakan bahwa langkah Israel 'menghina' upaya perdamaian, ia pun menyerukan Netanyahu untuk menghentikannya.
Netanyahu pun meminta maaf atas waktu pengumuman yang dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri Israel. Namun ia juga mengindikasikan tidak berniat menghentikan pembangunan tersebut.
Dalam pidatonya di parlemen, Netanyahu mengatakan pembangunan 'akan berlanjut di Yerusalem seperti yang telah terjadi selama puluhan tahun terakhir'.
Dalam Pusaran Krisis Politik Israel
Pada 2022, Benjamin Netanyahu dipecat dari jabatannya pada musim panas lalu oleh koalisi luas yang dipersatukan ketidaksukaan mereka terhadap pemimpin Likud yang konservatif.
Krisis politik Israel yang terjadi sejak 2019 dipicu oleh adanya tuduhan penyuapan, penipuan dan pelanggaran kepercayaan terhadap Netanyahu, yang tugas terakhirnya sebagai Oerdana Menteri berlangsung selama 12 tahun.
Ia membantah semua tuduhan dalam persidangan korupsi yang sedang berlangsung, tetapi kasus tersebut telah mempolarisasi masyarakat Israel.
Bagi para pendukungnya yang bersemangat, 'King Bibi' adalah pemimpin yang kuat dan teruji yang dituntut secara tidak adil oleh lembaga yang bias.
Sedangkan bagi para pembencinya, fitnahnya terhadap sistem peradilan telah merongrong kepercayaan pada institusi publik dan supremasi hukum.
Ini membuka jalan bagi kebangkitan sekutu sayap kanan barunya, partai Zionis Religius, yang menggandakan jumlah kursinya.
Banyak dari seluruh spektrum politik berharap pria berusia 73 tahun itu pada akhirnya akan berhenti membela negara yang terpecah secara politik tersebut.
Namun Benjamin Netanyahu tidak akan pernah menyerah.
Kali ini, ide-ide radikalnya mengusir warga Israel Palestina yang 'tidak loyal' dan mencaplok Tepi Barat yang diduduki telah disambut dengan antusiasme dari publik sayap kanan Israel yang semakin meningkat.
Ia kembali menjabat sebagai Perdana Menteri Israel menggantikan Naftali Bennet yang sempat sesaat menempati posisi itu.
Saat ini, memasuki usia senjanya, Benjamin Netanyahu harus berjuang mempertahankan hidup dari ancaman kematian dengan mengandalkan alat pacu jantung yang dipasang tim dokter pada Minggu dini hari tadi.