Kamala Harris: AS Tidak akan Izinkan Relokasi Paksa Warga Palestina dari Gaza atau Tepi Barat
Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Kamala Harris hadir di KTT iklim COP28 di Dubai untuk mewakili Presiden AS Joe Biden.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Kamala Harris, hadir di KTT iklim COP28 di Dubai untuk mewakili Presiden AS, Joe Biden.
Ia memaparkan tujuan umum Gedung Putih ketika perang Israel-Hamas berakhir, pada Sabtu (2/12/2023).
Wapres AS menekankan rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat pada akhirnya harus dipersatukan kembali di bawah satu entitas pemerintahan, dikutip dari Al Arabiya.
"Amerika Serikat dalam keadaan apapun tidak akan mengizinkan relokasi paksa warga Palestina dari Gaza atau Tepi Barat, pengepungan Gaza, atau penggambaran ulang perbatasan Gaza,” kata Harris, menurut pernyataan Gedung Putih, dikutip dari Mehr News.
Harris mengutarakan pemikiran itu dalam sesi pembicaraan bersama dengan Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi.
Baca juga: Israel Akui Gagal Deteksi Serangan Hamas, Pejabat Senior: Tidak Ada yang Paham Hal Ini
Harris juga mengatakan, setelah perang berakhir, upaya untuk membangun kembali harus dilakukan “dalam konteks cakrawala politik yang jelas bagi rakyat Palestina."
Gedung Putih memaparkan Harris menjelaskan Hamas tidak dapat mengendalikan Gaza.
Otoritas Palestina yang didukung Barat memerintah sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Hamas sendiri menguasai Gaza pada 2007
Peran Harris dalam pemerintahan semakin mendapat sorotan seiring Biden (81) mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua.
Harris ditugaskan membantu menyelesaikan serangkaian tantangan besar.
Mulai dari migrasi hingga aborsi dan hak memilih di dalam negeri hingga nasib Gaza pasca-konflik harus dikelola secara realistis merupakan isu yang membingungkan para pemimpin regional dan pakar Timur Tengah.
Baca juga: Umat Islam di Indonesia Diminta Waspadai Agitasi CUS soal Hamas
Dikutip dari Reuters, beberapa pejabat AS secara pribadi menyatakan keraguannya terhadap kemampuan Otoritas Palestina dalam memerintah Gaza pascaperang.
Kritikus menuduh otoritas tersebut melakukan korupsi dan salah urus, dan jajak pendapat menunjukkan kredibilitabsnya rendah di mata rakyat Palestina.