Daftar Senjata Terlarang yang Digunakan Israel selama Perang di Gaza: Dumb Bomb hingga Fosfor Putih
Dari dumb bom dan penghancur bunker hingga fosfor putih, daftar tuduhan senjata kontroversial yang digunakan Israel semakin berkembang.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
Bom BLU-109 yang diberikan oleh Amerika Serikat, dirancang untuk menembus struktur yang mengeras sebelum meledak.
Bom tersebut dapat membawa hulu ledak dengan berat lebih dari 900kg.
“Banyak orang sekarang mempertanyakan di Kongres apakah memberikan bom penghancur bunker ini adalah ide yang baik,” kata Heidi Zhou-Castro dari Al Jazeera.
Persenjataan ini telah digunakan oleh AS sebelumnya, tetapi sebagian besar digunakan di wilayah terbuka.
Menjatuhkan bom jenis ini daerah padat penduduk hanya akan mengakibatkan satu hal, tingginya korban jiwa.
Persenjataan AS untuk Israel sejak awal perang juga mencakup 15.000 bom dan 57.000 peluru artileri (155mm).
Dan masih ada lagi: 5.000 bom MK-82 terarah, lebih dari 5.400 bom MK-84, dan sekitar 1.000 bom berdiameter kecil GBU-39.
3. JDAM
Israel juga menggunakan sekitar 3.000 Joint Direct Attack Munitions (JDAM) atau amunisi serangan langsung, sebuah perangkat panduan dengan GPS yang digunakan untuk mengubah bom tak terarah (dumb bomb) menjadi amunisi berpemandu presisi, yang secara otomatis menjadikan bom bodoh itu “bom pintar”.
Namun efektivitasnya bergantung pada kualitas intelijen yang diterima.
Baca juga: Israel Sebut Perang Bisa Berlangsung Berbulan-bulan, Hamas Tidak Takut: Kami Punya Kemampuan
“Jika intelijen salah, senjata paling akurat sekalipun akan mengenai sasaran yang salah,” kata Elijah Magnier, seorang analis militer yang meliput konflik di Timur Tengah, kepada Al Jazeera.
Investigasi Amnesty International yang dirilis awal bulan Desember ini menemukan bahwa militer Israel menggunakan JDAM buatan AS untuk mengebom dua rumah di Gaza pada bulan Oktober.
Serangan itu menewaskan 43 anggota dari dua keluarga.
Sebelumnya dalam perang, Israel menggunakan bom pintar di Gaza sebagai bagian dari strategi militer yang bertujuan menargetkan infrastruktur militan, kata Magnier.
Tetapi cara itu dilakukan tanpa adanya upaya untuk membatasi korban sipil dan kerusakan infrastruktur.