Imbas Perang, Warga Israel Banyak Jatuh Miskin Hingga Kelaparan Melanda Gaza
Ekonomi Israel kian merosot dan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu pun diminta tak kuras duit negara demi mendanai perang di Gaza.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perang antara Israel dan kelompok Hamas Palestina yang telah terjadi sejak 7 Oktober 2023, telah menyebabkan puluhan ribu orang tewas.
Bahkan akibat perang yang saat ini belum berhenti, telah membuat warga Israel mengalami kemiskinan akibat kehilangan pekerjaan dan masyarakat Gaza menderita kelaparan.
Menurut catatan tahunan yang dirilis perusahaan riset Alternative Poverty Report, sebanyak 19,7 persen warga Israel kini kehilangan pendapatan imbas agresi perang.
Kemudian, ekonomi Israel pun kian merosot dan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu pun diminta tak kuras duit negara demi mendanai perang di Gaza.
Baca juga: Sidang Pertama soal Genosida, Israel Tuduh Afrika Selatan Jadi Tangan Hamas
Pimpinan Bank Sentral Israel Amir Yaron menyampaikan, kondisi ekonomi Israel tengah dilanda krisis, akibat pembengkakan biaya perang yang telah menelan 210 miliar shekel atau sekitar 56 miliar dolar AS, serta hilangnya pendapatan penduduk di dekat perbatasan Gaza dan Lebanon buntut dari perang.
"Tanpa melakukan penyesuaian anggaran yang diperlukan, hal ini dapat merugikan pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan memburuknya rasio utang terhadap PDB. Selama beberapa tahun ke depan, akan berdampak negatif pada ekonomi Israel," jelas Yaron dikutip Jumat (12/1/2024).
Sebelum defisit anggaran Israel bengkak hampir tiga kali lipat menjadi 6 persen dari PDB, parlemen Israel pada Desember lalu sempat menyetujui anggaran perang untuk tahun 2023 sebesar 30 miliar shekel dan 50 miliar shekel lagi pada tahun 2024.
Dengan alasan untuk mendanai perang serta memberikan kompensasi kepada mereka yang terkena dampak serangan Hamas sejak 7 Oktober lalu, namun pasca anggaran tersebut disetujui perlahan ekonomi Tel Aviv dilaporkan goyah.
Hingga Bank Sentral Israel, terpaksa memangkas suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak 2020, dari awalnya 4,75 persen menjadi 4,5 persen.
Tak hanya memicu krisis, perang juga membuat 79,3 persen warga Israel menderita penyakit kronis lantaran kesulitan mendapatkan akses perawatan kesehatan gratis.
Bahkan 81,6 penerima bantuan lanjut usia hidup dalam kemiskinan dan terancam menghadapi kerawanan pangan yang parah.
“Dampak perang, badan amal yang didedikasikan untuk mendukung masyarakat miskin kini tak lagi menerima bantuan dari pemerintah Israel sejak dimulainya invasi, Padahal saat ini terjadi peningkatan jumlah permintaan bantuan,” jelas Alternative Poverty Report dikutip dari Middle East Monitor.
Gaza Dilanda Kelaparan
Menurut laporan Wakil Direktur Program Pangan Dunia PBB, Carl Skau, setengah dari penduduk Gaza saat ini dilanda kelaparan massal buntut dari perang yang terus berlanjut antara Israel dan Hamas.
"Kondisi di Gaza membuat pengiriman hampir mustahil bahkan karena perang 9 dari 10 keluarga di Gaza tidak bisa makan secara rutin setiap hari,” ujar Skau, dikutip dari BBC International.
Ancaman bencana kelaparan mulai dialami jutaan warga Gaza usai Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menolak ajakan Hamas untuk memperpanjang gencatan senjata sementara.
Hal ini yang membuat puluhan truk bantuan kemanusiaan PBB yang berisi makanan, air bersih, obat-obatan, hingga perlengkapan medis tertahan di pintu masuk Rafah - Gaza.
Badan Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med bahkan menggambarkan situasi yang tengah terjadi di Gaza sebagai "perang kelaparan" setelah seluruh penduduk Gaza menghadapi krisis pasokan pangan.
Baca juga: Media Israel: Jumlah Korban IDF Lawan Hamas dan Hizbullah Capai Angka Mengerikan
“Dampak blokade yang dilakukan Israel, saya menyaksikan kebingungan di gudang, titik distribusi dengan ribuan orang yang kelaparan, supermarket dengan rak-rak yang kosong, dan tempat penampungan yang penuh sesak dengan kamar mandi yang pecah,” kata Skau.
Tindakan pemblokiran seperti ini bukan kali pertama yang dilakukan Israel, sebelumnya jutaan masyarakat Palestina terpaksa hidup tanpa pasokan air dan listrik selama berhari – hari, usai Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memerintahkan perusahaan listrik milik negaranya untuk menghentikan pasokan ke Jalur Gaza.
Imbas masalah tersebut, Penasihat strategis Komite Internasional Palang Merah, Michael Talhami, mengungkapkan bahwa warga Gaza saat ini diintai berbagai penyakit menular seperti kolera, diare, hepatitis A, dan tifus sebagai akibat dari aksi yang tidak berperikemanusiaan tersebut.
Korban Tewas Tembus 17.487 Jiwa
Hingga kini Kementerian Kesehatan Palestina dan Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS), Palestina mencatat sebanyak 17.487 warga Gaza dilaporkan tewas akibat Israel meningkatkan invasi perang sejak 7 Oktober 2023.
Kondisi Gaza yang kian memprihatinkan mendorong Dewan Keamanan PBB untuk menggelar rapat penanganan kondisi di Jalur Gaza. Namun, AS sebagai anggota tetap dewan keamanan menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi damai itu.
Seperti dilansir Reuters, Washington menilai resolusi yang diajukan oleh Dewan Keamanan PBB dan Uni Emirat Arab itu terburu-buru dan tidak seimbang AS juga menilai keputusan resolusi gencatan senjata hanya akan memperburuk kondisi di medan pertempuran.
Baca juga: Israel Bantah Serang Ambulans di Gaza yang Tewaskan 6 Orang
Tak hanya itu Amerika juga menilai seruan resolusi gencatan senjata sebagai tindakan 'berbahaya' karena akan memampukan Hamas untuk menanggulangi serangan mematikan terhadap Israel seperti yang terjadi pada 7 Oktober lalu.
"Kami tidak mendukung seruan resolusi ini untuk gencatan senjata yang tidak berkelanjutan yang hanya akan menanam benih bagi perang berikutnya," ucap Wakil Perwakilan Tetap AS untuk PBB, Robert Wood..
Sementara itu, merespon sikap Amerika banyak negara yang menyatakan kekecewaannya terhadap sikap AS yang menggagalkan resolusi DK PBB, diantaranya Uni Emirat Arab, Iran, China, Rusia, Prancis, Turki, hingga Malaysia.
“Selama AS mendukung kejahatan rezim Zionis (Israel) dan kelanjutan perang, ada kemungkinan terjadinya ledakan yang tidak terkendali dalam situasi di kawasan ini,” kata Menteri Luar Negeri Hossein Amirabdollahian kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres melalui panggilan telepon.