Menanti Putusan Kasus Genosida Israel, Presiden Iran Sebut Dunia Tuntut Keputusan yang Adil dari ICJ
Mengenai sidang kasus genosida Israel, Ebrahim Raisi menyinggung soal putusan yang adil dari ICJ.
Penulis: Nuryanti
Editor: Pravitri Retno W
Israel mengatakan salah satu kasus terbesar yang pernah diajukan ke pengadilan internasional mencerminkan dunia yang terbalik.
Para pemimpin Israel membela serangan udara dan darat mereka di Gaza sebagai respons sah terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Ketika itu, militan Hamas menyerbu komunitas Israel, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang.
Penasihat hukum Israel, Tal Becker, mengatakan kepada auditorium yang penuh sesak di Istana Perdamaian di Den Haag bahwa negara tersebut sedang berperang.
“Dalam keadaan seperti ini, hampir tidak ada tuduhan yang lebih salah dan lebih jahat daripada tuduhan genosida terhadap Israel,” katanya, masih dari AP News.
Sebagai informasi, Israel adalah negara penandatangan Konvensi Genosida tahun 1948, yang mendefinisikan genosida dan mewajibkan negara-negara untuk mencegahnya.
Berdasarkan hukum internasional, genosida didefinisikan sebagai melakukan satu atau lebih tindakan dengan tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama.
Sementara, ICJ adalah pengadilan tertinggi PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Baca juga: Hamas Rilis Video 4 Sandera Militer Israel yang Ditangkap Tahun 2014: Waktu Hampir Habis
Keputusan-keputusannya secara teoritis mengikat secara hukum bagi para pihak di ICJ, termasuk Israel dan Afrika Selatan, namun tidak dapat dilaksanakan.
ICJ bisa saja mengambil keputusan cepat atas permintaan Afrika Selatan agar Israel menghentikan kampanye militernya.
Namun, keputusan akhir mengenai apakah Israel melakukan genosida bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Kini, lebih dari 23.000 orang di Gaza telah terbunuh selama kampanye militer Israel, menurut Kementerian Kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas.
Jumlah korban tersebut tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan.
Hampir 85 persen penduduk Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka, seperempat penduduk di wilayah kantong tersebut menghadapi kelaparan, dan sebagian besar wilayah utara Gaza hancur menjadi puing-puing.