Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
BBC

Wacana pembatasan BBM bersubsidi, bagaimana mekanismenya?

Gagasan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali bergaung menyusul pernyataan dua menteri Pemerintahan Jokowi. Namun,…

zoom-in Wacana pembatasan BBM bersubsidi, bagaimana mekanismenya?
BBC Indonesia
Wacana pembatasan BBM bersubsidi, bagaimana mekanismenya? 

Bhima menganalisa rencana penurunan subsidi pada pemerintahan Jokowi dilakukan untuk membuka ruang APBN atau fiskal untuk mendanai program-program prioritas pemerintahan yang baru: pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Ada kekhawatiran pelebaran defisit APBN sampai akhir tahun ini. Bahkan bisa lebih dari 2,7% mendekati angka 3% dari batas atau ambang,” ujar Bhima.

“Setiap pergantian pemimpin, maka yang pertama kali dikurangi adalah subsidi dengan narasi yang hampir sama. Bedanya mungkin, sekarang narasinya digeser untuk makanan siang gratis [misalnya]. Kalau tidak disiapkan melalui pemangkasan subsidi, bisa jadi program-program Pak Prabowo banyak yang enggak jalan.””

Bhima merujuk ke program makan siang gratis atau sekarang disebut makan bergizi gratis yang merupakan program dari pasangan capres-cawapres terpilih, Prabowo Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang akan resmi dilantik pada pada 20 Oktober 2024.

Program makan siang gratis atau sekarang disebut makan bergizi gratis untuk anak sekolah sudah direncanakan masuk APBN 2025 sebesar Rp71 triliun, berdasarkan keterangan Menkeu Sri Mulyani pada konferensi pers Juni 2024.

Bhima mengatakan hal inilah yang mesti dikritik. Menurut dia, alih-alih digunakan untuk kebijakan yang tidak berkaitan dengan masyarakat yang terdampak pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah sebaiknya memusatkan perhatian untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat kelas menengah yang rentan karena selama ini menggunakan Pertalite.

“Memang masyarakat kita menderita short memory syndrome. Jadi lupa terhadap sejarah setiap kali terjadi pergantian pemimpin. Mereka akan termakan dengan narasi dari pemerintah yang seolah-olah ini adalah untuk kebaikan,” ujarnya.

‘Distorsi akan selalu ada’

BERITA TERKAIT

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai berdasarkan yang sudah-sudah, distorsi dari implementasi pembatasan BBM bersubsidi akan terus terjadi.

Komaidi mengatakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sebetulnya sudah diulang-ulang sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Tetapi efektivitasnya sampai hari ini kan sebetulnya masih tanda tanya efektif atau tidak,” jelas Komaidi, yang menyarankan pemerintah untuk menyasar subsidi langsung ke warga alih-alih menyubsidi barang – dalam hal ini BBM.

Menurut Komaidi, apabila pemerintah serius, maka seharusnya subsidi langsung diberikan kepada yang membutuhkan alih-alih menyubsidi barang – dalam hal ini BBM.

“Apalagi kalau di dalam filosofi subsidi BBM ini kan ada sesuatu yang kebalik. Yang namanya subsidi itu kan bantuan untuk mereka yang tidak berdaya beli. Artinya siapa yang paling tidak berdaya beli itu harusnya mendapatkan porsi atau jatah yang lebih besar dibandingkan yang sudah berdaya beli,” ujar Komaidi.

“Tapi di dalam subsidi BBM ini menjadi kebalik.”

Komaidi memberi ilustrasi seseorang yang memiliki mobil tipe SUV dengan kapasitas tangki 70 liter. Apabila subsidi dipatok pada Rp2.000 per liter, orang bermobil SUV akan mendapat lebih banyak BBM bersubsidi dibandingkan pengguna motor (yang maksimal tangkinya tujuh liter) atau bahkan pengguna angkutan umum.

“Artinya yang kaya dikasih jatah subsidi banyak. Yang tidak punya uang atau yang miskin justru enggak dapat subsidi,” ujarnya.

Komaidi berpendapat orang yang pendapat rendah harus diberikan subsidi secara langsung.

“Jadi orang yang miskin, orang yang pendapatannya rendah diberikan subsidi. Dan terserah mereka nanti akan dialokasikan untuk beli BBM, beli beras. Untuk bayar anak sekolah maupun yang lain-lain. Itu akan menjadi hak sepenuhnya mereka. Tetapi saudara-saudara kita yang sudah berdaya beli, apalagi bisa beli mobil. Seharusnya tidak mendapatkan subsidi.

Tetapi kenapa selama ini masih bisa mengakses? Karena pemerintah tidak siap dengan kebijakannya,” jelas Komaidi.

Terpisah, Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno mengatakan pembatasan pembelian BBM subsidi merupakan kebijakan ambigu oleh pemerintah.

“Di satu sisi, [pemerintah] tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya akan terjadi kenaikan harga bagi konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite dan solar [karena] harus migrasi ke BBM nonsubsidi,” tegasnya.

Agus mengatakan pihaknya menanti mekanisme pembatasan pembelian untuk tahun. Ini dikarenakan model-model yang selama dikembangkan, terbukti tidak efektif dalam mengendalikan penjualan BBM subsidi.

“Secara implisit UU Energi menyatakan bahwa subsidi merupakan hak masyarakat kelompok bawah. Tetapi dalam konteks BBM, secara faktual di lapangan justru mayoritas kelompok menengah atas yang menyeruput subsidi tersebut,” ujarnya.

“Kebijakan pembatasan pembelian juga akan memukul daya beli konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis Pertalite dan solar, jika harus bermigrasi ke BBM nonsubsidi.”

Apa mekanisme terbaik untuk pemangkasan subsidi BBM?

Kepala Grup Kajian Sumber Daya Alam dan Energi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Uka Wikarya, menyebut subsidi mesti disalurkan kepada konsumen yang benar-benar berhak dan, tepat sasaran.

“Jangan ada konsumen yang mampu secara ekonomi dapat mengakses BBM bersubsidi,” ujar Uka.

“[Subsidi] tidak harus diberikan secara tunai. Subsidi bisa diberikan secara tertutup.Artinya hanya para pihak yang memiliki ID mengakses ke barang disubsidi. Contoh: Pertalite di SPBU hanya bisa dijual kepada pembeli yang mempunyai kartu penerima subsidi Pertalite.”

Hal senada diungkapkan Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno, yang mengatakan pengendalian konsumsi BBM akan lebih rasional apabila dilakukan subsidi tertutup.

Komaidi mengatakan pemerintah selama ini tidak siap dengan kebijakannya sendiri sehingga siapa pun – termasuk kelompok menengah dan menengah atas – masih bisa mengakses BBM bersubsidi selama ini.

“Kalau memang ingin menata, silakan subsidi langsung. Kalau subsidi-nya ke barang, apalagi ke pembatasan-pembatasan, kemungkinan hanya dapat capeknya saja,” tegasnya.

Sementara Bhima menyebut pemerintah juga harus semakin menggalakkan pembangunan transportasi publik sekaligus membatasi produksi mobil baru apabila ingin mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. Menurut dia, produksi mobil listrik selama ini hanya akan dinikmati orang kaya.

Orang-orang yang berat tanggung ini yang tadinya menikmati subsidi, disuruh beli BBM lebih mahal tanpa ada alternatifnya. Masa alternatifnya disuruh pakai mobil listrik yang harganya mahal?” ujarnya.

Sumber: BBC Indonesia
BBC
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas