Karier Politik Sheikh Hasina, Menjabat sebagai PM Bangladesh 15 Tahun, Kini Tinggalkan Negaranya
Dilatarbelakangi insiden tragis, begini jejak karier politik Sheikh Hasina, wanita yang menjabat sebagai Perdana Menteri Bangladesh selama 15 tahun.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Suci BangunDS
BNP, yang mendukung para pengunjuk rasa mahasiswa, berulang kali menyerukan agar Hasina mundur sementara Hasina menuduh mereka memicu kekerasan.
Tahun-tahun kekacauan
Setelah Hasina kalah dalam pemilihan umum tahun 2001, ia menjadi pemimpin oposisi.
Kekerasan politik, kerusuhan, dan intervensi militer mewarnai tahun-tahun hingga ia terpilih kembali.
Setelah kembali berkuasa, Hasina memusatkan perhatiannya pada ekonomi dan membangun infrastruktur yang sebelumnya tidak terlihat di Bangladesh, yaitu jaringan listrik yang kuat yang menjangkau desa-desa terpencil dan proyek-proyek besar seperti jalan raya, jalur kereta api, dan pelabuhan.
Industri garmen negara itu menjadi salah satu yang paling kompetitif di dunia.
Kemajuan pembangunan turut memicu kemajuan lainnya.
Anak perempuan dididik setara dengan anak laki-laki, dan semakin banyak perempuan yang bergabung dengan angkatan kerja.
Orang-orang yang dekat dengannya menggambarkan Hasina sebagai sosok yang aktif dan bersemangat untuk mengangkat derajat perempuan dan orang miskin.
Di panggung internasional, Hasina menjalin hubungan dengan negara-negara kuat, termasuk India dan China.
Namun, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya menyatakan kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan pers, yang membuat hubungan menjadi tegang.
Pada bulan Januari 2024, setelah Hasina memenangkan masa jabatan keempat berturut-turut, AS dan Inggris mengatakan bahwa pemilu itu tidak kredibel, tidak bebas, dan tidak adil.
Baca juga: Euforia di Bangladesh, Ribuan Warga Bersorak Gembira setelah PM Sheikh Hasina Tinggalkan Negaranya
Pemilu sebelumnya pada tahun 2018 dan 2014 juga dicederai oleh tuduhan kecurangan suara dan boikot oleh partai-partai oposisi.
Selama bertahun-tahun, para pengkritiknya menuduh pemerintahnya menggunakan cara-cara keras untuk membungkam perbedaan pendapat, membatasi kebebasan pers, dan membatasi masyarakat sipil.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia juga mengutip penghilangan paksa para pengkritik, yang dibantah oleh pemerintahnya.