Bagaimana Pakistan Terjatuh dalam Jerat Utang Cina?
Saat Pakistan terpaksa mereformasi ekonomi demi utang IMF senilai miliaran dolar, Islamabad harus terlebih dahulu mencari solusi atas…
Setelah pada Juli silam berhasil mengamankan pinjaman senilai USD7 miliar dari Dana Moneter Internasional, IMF, Pakistan kini menegosiasikan ulang utang senilai miliaran Dollar AS dengan Cina.
Krisis ekonomi yang mendekap Pakistan meluapkan cadangan mata uang asing dan menyulitkan pembiayaan impor bahan baku.
Islamabad ingin menunda pembayaran cicilan utang senilai USD16 miliar milik sektor energi ke Cina, bersamaan dengan perpanjangan jangka waktu fasilitas pinjaman tunai USD4 miliar karena menipisnya cadangan devisa.
Pekan lalu, Menteri Keuangan Pakistan Muhammad Aurangzeb berada di Beijing untuk menyampaikan usulan tentang perpanjangan jatuh tempo utang untuk sembilan pembangkit listrik yang dibangun oleh perusahaan Cina di bawah Koridor Ekonomi Pakistan Cina, CPEC, yang bernilai miliaran dolar.
Pada hari Jumat (2/8), Perdana Menteri Shehbaz Sharif mengatakan dalam rapat kabinet federal bahwa dia telah menulis surat kepada pemerintah di Beijing untuk meminta peninjauan ulang utang, lapor surat kabar Dawn Pakistan.
Peninjauan ulang utang berbeda dari restrukturisasi karena jumlahnya tidak dipotong, melainkan tanggal jatuh tempo pembayaran yang diperpanjang.
Untuk menurunkan tarif listrik, misalnya, Islamabad terdesak untuk segera menegosiasikan ulang perjanjian dengan perusahaan listrik asal Cina, karena harga yang dipatok terlalu mahal.
Sejak CPEC ditandatangani pada tahun 2015 lalu, Beijing telah menggelontorkan pinjaman bernilai miliaran dolar untuk mengembangkan infrastruktur di Pakistan.
Nilai proyek CPEC mencapai USD65 miliar, dengan tujuan utama membangun jalur pengiriman barang dari Cina ke pelabuhan Gwadar di Laut Arab, melewati perbatasan pegunungan ke wilayah Xinjiang.
Fokus pada produksi listrik
CPEC juga mengalokasikan miliaran dolar untuk pembangunan infrastruktur energi di Pakistan.
Azeem Khalid, seorang pakar investasi Tiongkok, mengatakan kepada DW bahwa pembangunan pembangkit listrik yang didanai Cina malah menyulitkan ekonomi Pakistan.
"Daripada membangun pembangkit listrik milik pemerintah, Pakistan mengizinkan perusahaan Cina untuk beroperasi sebagai produsen listrik independen, yang memaksakan pembayaran kapasitas terlepas dari produksi. Jadi, pada dasarnya penduduk diminta membayar listrik yang tidak mereka gunakan," kata Khalid.
Terbebani utang Cina
Menurut data tahun 2022, Pakistan berutang senilai USD26,6 miliar kepada Cina, lebih banyak daripada negara lain mana pun di dunia.
Safiya Aftab, ekonom yang berbasis di Islamabad, mengatakan kepada DW bahwa suku bunga pinjaman Cina tidak lunak dan berkisar sekitar 3,7 persen.
"Pinjaman ini diberikan untuk infrastruktur, yang secara teori seharusnya mulai menghasilkan keuntungan. Menurut saya, masalah utamanya adalah daya serap Pakistan yang buruk. Pemerintah tidak dapat melanjutkan proyek sesuai jadwal," katanya.
Analis Khalid yakin pinjaman ini "sulit untuk dilunasi karena suku bunga yang sangat tinggi, yang melebihi kapasitas pembayaran pemerintah."
"Semakin banyak relaksasi dan perpanjangan yang tersedia, semakin baik bagi Pakistan. Cina, yang menyadari kesulitan keuangan Pakistan, sering kali memberikan ruang bernapas tetapi terkadang memanfaatkan utang ini untuk kepentingannya," kata Khalid.
CPEC: Berkah atau kutukan?
Analis mengatakan bahwa pinjaman CPEC awalnya disajikan sebagai opsi termurah untuk pinjaman internasional, tetapi kemudian diketahui bahwa pembayarannya akan jauh lebih mahal dari yang diharapkan.
"Perjanjian yang sangat menguntungkan Cina itu dinegosiasikan dengan buruk, sehingga proyeknya terlalu banyak dijanjikan tetapi tidak terlaksana. Publik dan media disesatkan oleh menteri perencanaan saat itu dan timnya yang menggambarkan CPEC sebagai penyelamat ekonomi bagi Pakistan dan kawasan," kata Khalid.
Ekonom Kaiser Bengali berpendapat bahwa mengubah struktur pembayaran utang Cina "hanya solusi sementara, yang juga bergantung pada kemurahan hati pihak Beijing, meskipun penataan ulang profil dan perpanjangan pinjaman telah membantu Pakistan memenuhi kebutuhan pembiayaan eksternalnya beberapa kali di masa lalu."
"Utang Tiongkok sangat besar dan pelunasan utang adalah satu-satunya pilihan yang bersifat sementara. Tumpukan utang yang besar itu menghancurkan ekonomi," katanya kepada DW.
"Kondisinya menjadi semakin rumit, berapa lama Cina akan menunggu pelunasan utang-utang ini, karena mereka memiliki batas bawah sendiri untuk pinjaman bisnis. Mereka meminjamkan uang ke banyak negara dan tidak ingin membuat preseden dengan menunda dan merundingkan ulang proyek-proyek karena akan memengaruhi kepentingan mereka," tambahnya.
Islamabad, Beijing bantah kritik
Baik pejabat Pakistan maupun Cina sering menangkis kritik bahwa proyek CPEC telah memperparah kesulitan ekonomi Islamabad dan membingkai skema tersebut sebagai peluang untuk pertumbuhan ekonomi.
Siaran pers dari "Sekretariat CPEC" Kementerian Perencanaan, Pembangunan, dan Prakarsa Khusus Pakistan mengatakan Islamabad bergabung dengan CPEC karena "pengaturan pembiayaan yang menguntungkan" dan bahwa Cina telah "melangkah maju untuk mendukung pembangunan Pakistan di saat investasi asing mengering."
"CPEC telah memberikan peluang yang sangat besar bagi Pakistan untuk tumbuh secara ekonomi. Proyek ini adalah mesin pertumbuhan ekonomi," tambahnya.
Terlepas dari itu, masalah utang Pakistan tidak akan hilang dalam waktu dekat.
"Pakistan terjebak antara Cina dan AS, dan Washington telah memperingatkan bahwa pinjaman IMF tidak boleh digunakan untuk membayar utang Cina yang meningkat," kata Bengali.
Ekonom Aftab mengatakan bahwa Cina akan mengizinkan Pakistan untuk mengubah profil pembayaran utangnya.
"Alasan utama kemurahan hati mereka terhadap Pakistan adalah persaingan dengan India, dan hal ini tidak akan hilang dalam waktu dekat. Namun, mereka mungkin kehilangan kesabaran karena kemajuan proyek yang lambat dan mulai mendesak tindakan," katanya.
rzn/hp