Mongolia Bisa Dihukum oleh ICC jika Tidak Tangkap Putin, Dianggap Kaki Tangan
Aktivis hak asasi manusia mengatakan Mongolia akan menjadi 'kaki tangan' jika gagal menangkap Putin, yang dicari karena kejahatan perang.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin, yang merupakan "buron" Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), mendarat dengan mulus di Mongolia pada hari Senin (2/9/2024).
Berdasarkan hukum internasional, Mongolia, yang merupakan anggota ICC, seharusnya menindaklanjuti surat perintah penangkapan terhadap Putin yang dikeluarkan oleh pengadilan tersebut.
Uni Eropa dan Ukraina sudah mengingatkan negara Asia Timur itu tentang kewajiban tersebut.
Namun, para pejabat Rusia mengatakan mereka tidak khawatir Putin akan ditangkap di Mongolia.
Surat perintah ICC, yang dikeluarkan pada bulan Maret 2023, menuduh Putin melakukan kejahatan perang terkait dengan deportasi dan pemindahan anak-anak dari wilayah pendudukan Ukraina ke Rusia.
Belum ada indikasi bahwa Mongolia berencana untuk menangkap Putin.
Namun, jika Mongolia tidak melakukannya, negara itu kemungkinan besar akan menghadapi tuntutan hukum, kata seorang pakar hukum kepada POLITICO.
“Mongolia pasti akan dituntut oleh Pengadilan Kriminal Internasional karena melanggar tugasnya untuk bekerja sama,” kata Tamás Hoffmann, peneliti senior di Institut Studi Hukum.
“ICC kemudian dapat memutuskan untuk merujuk kasus tersebut ke Assembly of States Parties, yang dapat mengutuk pelanggaran Mongolia berdasarkan apa yang disebut prosedur ketidakpatuhan."
"Namun, tidak ada konsekuensi serius, misalnya pemberian sanksi, bagi negara yang melanggar,” kata Hoffmann.
Ini bukan pertama kalinya negara anggota ICC tidak menangkap orang yang menjadi subjek penangkapan.
Baca juga: Saatnya Putin Ditangkap, Kemenlu Ukraina Senggol Mongolia Ingat Surat Perintah ICC
Pada tahun 2015, Afrika Selatan tidak menangkap Presiden Sudan, Omar al-Bashir, saat berkunjung ke negara tersebut.
Al-Bashir dicari karena kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk genosida.
Dua tahun kemudian, ICC menyatakan bahwa Afrika Selatan gagal mematuhi kewajibannya.