Pilot Penting Angkatan Udara Israel Dipecat Karena Tolak Gempur Gaza, IDF Frustasi dan Kelelahan
seorang pilot tempur penting dalam skuadron besar Angkatan Udara Israel menolak untuk terus terbang selama perang Gaza sat ini
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Pilot Penting Angkatan Udara Israel Dipecat Karena Menolak Agresi ke Gaza
TRIBUNNEWS.COM - Media Ibrani melaporkan, Komandan skuadron penting tentara pendudukan Israel (IDF) memutuskan untuk memberhentikan seorang pilot dari dinas, karena sang pilot menolak untuk berpartisipasi dalam agresi terhadap Gaza.
Laporan tersebut, yang diterjemahkan oleh situs web Khabarni, mengatakan, seorang pilot tempur penting dalam skuadron besar Angkatan Udara Israel menolak untuk terus terbang selama perang Gaza saat ini, dan meminta agar dinasnya dibekukan.
Baca juga: Media Israel Terheran-heran, Kok Bisa Rudal Houthi Menghindari Radar Canggih IDF dan Amerika?
Laporan menunjukkan bahwa penolakan pilot tersebut karena alasan politis.
Laporan menambahkan kalau komandan skuadron memutuskan untuk mencopot pilot tersebut dari layanan.
Frustasi dan Kelelahan
Surat kabar Amerika Serikat (AS), The American Wall Street Journal mengatakan bahwa perang yang telah berkecamuk di Jalur Gaza selama lebih dari 11 bulan telah menghabiskan energi tentara Israel (IDF), khususnya dari divisi cadangan yang menjadi ujung tombak dalam agresi darat tersebut.
Kondisi ini membatasi pilihan Israel, yang dengan hati-hati mempertimbangkan untuk melancarkan perang melawan Lebanon. Hizbullah.
Baca juga: IDF Bagikan Dokumen Skenario Perang Besar-besaran, Hizbullah Menyusup dari Utara dan Tepi Barat
Media AS tersebut mencatat dalam laporannya kalau Israel, sebuah negara kecil dengan populasi kurang dari 10 juta orang, sangat bergantung pada tentara cadangan untuk membantu tentara menjalankan tugasnya di saat krisis.
"Ketika perang di Gaza memasuki bulan ke-11, dan ketika baku tembak terus-menerus terjadi dengan milisi di wilayah tersebut seperti Hizbullah, surat kabar tersebut mengatakan bahwa banyak tentara cadangan mendekati titik puncaknya, karena mereka menderita kelelahan dan frustrasi, dan berjuang untuk bertahan hidup," tulis ulasan Khaberni mengutip lansiran WSJ.
Situasi itu makin menghimpit faktor psikis para tentara IDF karena mereka harus mencapai keseimbangan antara keluarga, pekerjaan, dan dinas militer. Sementara kerugian ekonomi akibat ketidakhadiran mereka dari pekerjaan aslinya semakin meningkat.
Baca juga: Iran Segera Menyerang, Knesset Israel: Serbuan IDF ke Lebanon Jadi Bencana yang Belum Pernah Terjadi
Ragu-ragu Lancarkan Perang
Menurut laporan surat kabar tersebut, tekanan yang diberikan kepada para tentara IDF adalah salah satu alasan yang membuat para pejabat Israel enggan untuk melancarkan perang menyeluruh melawan Hizbullah.
Perang besar-besaran, memerlukan penggunaan kelompok tentara cadangan yang sama dan sudah kelelahan untuk melawan Hizbullah, kekuatan militer yang lebih unggul dari gerakan perlawanan Hamas.
Mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional Israel Yaakov Amidror menilai Israel belum mempersiapkan diri untuk perang jangka panjang.
“Kami berpikir untuk melancarkan serangan udara besar-besaran dan kemudian melakukan manuver darat cepat untuk pasukan darat,” katanya.
Amidror menambahkan kalau semakin lama perang berlangsung, semakin sulit untuk terus memberikan dukungan kepada kesiapan pasukan tempur dan kekuatan mereka.
Situasi Berbeda
Surat kabar tersebut melaporkan bahwa Israel sebelumnya telah berhasil melakukan perang singkat di mana Israel dapat mengandalkan pasukan cadangan dan keunggulannya yang luar biasa di bidang teknologi.
Dia mencontohkan, Israel mampu mengalahkan 4 tentara negara Arab dalam perang Juni 1967.
"Permasalahannya, kali ini berbeda," kata surat kabar tersebut.
Ulasan menekankan kalau milisi bersenjata, yang “didanai oleh Iran,” kini menguasai wilayah luas yang berbatasan dengan Israel, dan mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun untuk menyingkirkan mereka.
Israel menghadapi dilema lain, yaitu penolakan kaum Yahudi ultra-Ortodoks yang sudah memasuki usia militer untuk bergabung dengan tentara atau pasukan cadangan, mengingat mereka dan beberapa “minoritas” Arab telah diberikan pengecualian dari dinas militer.
Alasan inilah – menurut pendapat Wall Street Journal – yang membuat tentara Israel sangat bergantung pada tentara cadangan, yang jumlahnya lebih dari dua kali lipat jumlah tentara tetap.
Pasukan Cadangan di Kemiliteran Israel
Berbeda dari pasukan Angkatan Darat Israel, pasukan cadangan Israel adalah warga negara biasa yang memiliki pekerjaan dan mengurus keluarga.
Banyak dari mereka kini telah menjalani banyak tur dan bertempur dalam pertempuran sengit.
Menurut perkiraan militer, lebih dari 300 tentara tewas dan lebih dari 4.000 lainnya terluka sejak Israel memulai perang darat di Gaza. Angka-angka ini belum termasuk kerugian di kalangan prajurit profesional.
Banyak tentara cadangan terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka, menutup perusahaan, dan menunda investasi mereka, karena hampir 150.000 tenaga kerja tidak masuk kerja untuk mengikuti wajib militer.
Jumlah itu banyak yang bekerja di sektor teknologi penting di Israel.
Bank Sentral Israel - menurut surat kabar Amerika - memperkirakan perekonomian negaranya hanya akan tumbuh sebesar 1,5 persen pada tahun 2024, setelah mengalami kontraksi sebesar 5,7 persen pada kuartal terakhir tahun 2023.
Bank Sentral Israel tidak memperkirakan pemulihan hingga 4,2 persen pada tahun 2023. 2025 kecuali perang berakhir.
Mengingat kondisi yang bergejolak ini, tentara cadangan – seperti penembak Uday Hazan – menderita dan merasa terjebak dalam perang.
Situasi yang Menyedihkan
Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa Hazan (41 tahun) melakukan dinas militer untuk pertama kalinya di Gaza dan sekarang berada di Tepi Barat sebagai bagian dari pasukan yang bertugas menekan protes di sana.
Namun, hidupnya “berada dalam keadaan yang menyedihkan,” dan ia terlilit hutang setelah ia terpaksa menutup bisnis konstruksinya setelah dipanggil untuk berperang, dan keluarganya mulai meminta sedekah dari teman dan badan amal.
Menurut surat kabar tersebut, Hazan mungkin menghadapi masalah setelah menyelesaikan dinas militernya, yaitu ia harus berurusan dengan kreditor, yang menurutnya ia berhutang $250.000.
Surat kabar tersebut menutup laporannya dengan pernyataan penuh makna dari prajurit cadangan Hazan, di mana dia berkata,
“Saya merasa segalanya sedang runtuh. Pada akhirnya, saya harus menghadapi tantangan hidup... Saya bukan wajib militer (di ketentaraan ), melainkan seorang tentara (cadangan) dan saya punya keluarga.”
(oln/khbrn/wsj/*)