Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

'Suara Jerman dari Gaza': Selamat dari Perang, Namun Pikiran Tetap Tinggal

Karena tak dapat meninggalkan Gaza pada awal perang Israel-Hamas, Abed Hassan menjadi “suara Jerman dari Gaza,” mendokumentasikan…

zoom-in 'Suara Jerman dari Gaza': Selamat dari Perang, Namun Pikiran Tetap Tinggal
Deutsche Welle
'Suara Jerman dari Gaza': Selamat dari Perang, Namun Pikiran Tetap Tinggal 

Sejarah keluarga Abed Hassan diwarnai dengan pengungsian. Kakek dan neneknya berasal dari desa yang menjadi bagian dari Israel ketika negara itu didirikan pada tahun 1948. Orang tuanya dibesarkan di kamp-kamp pengungsi di Gaza.

Ia lahir dan dibesarkan di Berlin, namun baru mendapatkan kewarganegaraan Jerman pada usia 16 tahun. Jerman, seperti halnya Amerika Serikat, tidak mengakui negara Palestina, tidak seperti mayoritas negara anggota PBB.

"Jika saya harus menyebutkan kewarganegaraan saya dan saya mengatakan Palestina, mereka akan mengatakan: 'Palestina tidak ada. Anda tidak memiliki kewarganegaraan'. Hal ini membuat Anda bertanya-tanya siapa saya, dari mana saya berasal, dan di mana asal-usul saya.”

Ketika berusia 14 tahun, orang tuanya membawanya ke Gaza untuk pertama kalinya. "Itu sangat mengejutkan,” kenangnya. "Di sana sangat, sangat ramai. Ketika saya membuka keran air, airnya terasa asin, dan tidak ada listrik untuk mengisi daya ponsel saya.”

Namun kemudian ia mulai bertemu dengan teman-teman dan tetangga orang tuanya, yang menyiapkan pesta untuk keluarga dari Jerman sebagai makan malam penyambutan. Beberapa orang harus berhutang untuk itu. Mereka lebih ramah daripada semua orang yang ia kenal di Berlin.

Setelah liburan musim panas selama enam minggu, ia merasa lebih betah di Gaza daripada di Jerman.

"Saya adalah orang Berlin seperti warga Berlin lainnya. Namun demikian, selalu ada perasaan semacam rasisme laten: Anda tidak pantas berada di sini,” katanya. Hari ini, ia merasakannya lebih dari sebelumnya.

BERITA REKOMENDASI

Perang di Gaza telah berlangsung selama satu tahun, tetapi Hassan percaya bahwa "Kita tidak bisa melawan kekerasan dengan kekerasan.”

Jerman terus mendukung Israel, sebagian besar tanpa kritik. Jerman terus memasok senjata ke Israel dan tanpa pandang bulu menyebut para demonstran pro-Palestina sebagai antisemit. Setidaknya begitulah pandangan Hassan terhadap negara tempat ia dilahirkan.

"Saya merasa bahwa perspektif Palestina tidak ada di Jerman, bahwa apa pun yang saya katakan, apa pun yang saya derita, apa pun yang terjadi pada kami, saya diberitahu bahwa 'tetapi Israel adalah negara demokrasi, tetapi Israel adalah negara konstitusional. Tidak bagi kami. Apa yang terjadi pada kami, rakyat Palestina, tidaklah adil dan tidak demokratis. Dan jika saya mengatakan itu sendirian, saya takut dikucilkan dari masyarakat.”

Hassan masih ingin berdialog dengan orang-orang dan menjelaskan perspektif Palestina. Ia berharap perang di Gaza berakhir dan akan masa depan yang lebih damai. Namun, ia merasa hal ini semakin sulit terwujud.

"Kita sampai pada keadaan di mana tidak bisa lagi merasakan, di mana hati menjadi keras.”

Artikel ini diterbitkan dalam bahasa Jerman.

Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas