Apakah Perang di Timur Tengah Bakal Pengaruhi Pilpres AS?
Analis memperingatkan bahwa perluasan kampanye militer Israel di Timur Tengah dapat merusak peluang kandidat Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) kurang dari empat minggu lagi. Para analis memperingatkan, perluasan kampanye militer Israel di Timur Tengah dapat merusak peluang kandidat Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris.
Kebijakan luar negeri jarang menjadi prioritas utama bagi para pemilih AS.
Namun, perang Israel selama setahun di Gaza, serta kampanye pengebomannya yang gencar di Lebanon, telah memicu pertanyaan tentang peran AS dalam konflik tersebut.
Pemerintahan Presiden Joe Biden tidak goyah dalam dukungannya terhadap Israel, yang memecah belah basis Demokrat, dengan beberapa pemilih — khususnya warga Amerika Arab — berbalik menentang partai tersebut.
Jajak pendapat bulan September oleh Arab American Institute menemukan bahwa Harris dan rivalnya, Donald Trump hampir imbang di antara pemilih Arab, masing-masing menerima 41 persen dan 42 persen dukungan.
Angka itu sebenarnya merupakan peningkatan yang signifikan bagi Demokrat, Al Jazeera melaporkan.
Meskipun kebijakan AS terhadap Gaza mungkin bukan prioritas utama bagi sebagian besar pemilih, lebih dari 80 persen warga Arab Amerika mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan memainkan peran penting dalam menentukan suara mereka.
Banyak dari pemilih tersebut terkonsentrasi di sejumlah kecil negara bagian yang memainkan peranan besar dalam menentukan pemilihan presiden negara tersebut.
Baca juga: Negara-negara Teluk Bujuk AS Agar Israel Tak Serang Infrastruktur Minyak Iran
Minggu-minggu terakhir pemilihan presiden bertepatan dengan munculnya ancaman eskalasi lebih lanjut di Timur Tengah.
Misalnya, pada awal Oktober, Iran melancarkan serangan rudal balistik terhadap Israel, sebagai tanggapan atas pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran dan kepala Hizbullah Hassan Nasrallah di Beirut, antara lain.
Pada hari yang sama, Israel melancarkan operasi darat di Lebanon selatan, selain melakukan operasi pengeboman udara yang mematikan di wilayah tersebut.
Israel juga diperkirakan akan mengambil tindakan lebih lanjut terhadap Iran.
Para analis khawatir, pembalasan besar-besaran Israel dapat memicu perang yang merusak antara Israel dan Iran, suatu kecemasan yang dianut banyak orang di AS.
Sebuah jajak pendapat di bulan Februari menemukan, 36 persen orang berusia antara 18 dan 29 tahun mengatakan, pemerintahan Biden terlalu memihak Israel dalam perang saat ini, dibandingkan dengan hanya 16 persen orang berusia 50 hingga 64 tahun.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)