Pemimpin Hamas Yahya Sinwar Tewas, Begini Pendapat Donald Trump Terkait Perdamaian Israel-Hamas
Membunuh Yahya Sinwar adalah kemenangan terbesar Israel sejauh ini dalam perang melawan Hamas di Gaza.
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON-Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan AS seharusnya tidak mengekang Israel seperti yang dilakukan Presiden AS Joe Biden
Komentar tersebut dilayangkan Donald Trump mengomentari tewasnya pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, oleh Israel.
Komentar Trump dilontarkan saat menjawab pertanyaan wartawan tentang apakah kematian Sinwar membuat perdamaian Israel-Hamas lebih mudah atau sulit.
Baca juga: Hamas Kecam Media Arab yang Sebut Yahya Sinwar Cs Teroris, Sang Jurnalis Tutup Akun
"Saya pikir itu membuatnya lebih mudah. Saya senang bahwa Bibi (Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu) melakukan apa yang harus dia lakukan," jawab Trump, dikutip dari kantor berita AFP, pada Jumat (18/10/2024).
Trump lalu menyinggung Biden yang menurutnya berusaha menahan tindakan Israel.
"Dia berusaha menahannya dan dia mungkin seharusnya melakukan sebaliknya," ujar Trump. Biden dan Wakil Presiden AS Kamala Harris-yang maju ke pilpres AS 2024 melawan Trump- dihadapkan dengan dilema dalam membantu Israel.
Di satu sisi, pemerintahan AS berupaya mempertahankan dukungan terus-menerus kepada Israel, tetapi di sisi lainnya ada dorongan untuk menghindari korban jiwa sipil dalam upaya memerangi Hamas. Hal tersebut menjadi masalah bagi Harris dalam menggaet suara warga Arab-Amerika di Michigan, yang meskipun populasinya kecil, tetapi signifikan.
Michigan adalah salah satu negara bagian penentu di pilpres AS 2024. Trump dan Harris berkampanye di sana pada Jumat (18/10/2024).
Perang belum berakhir
Membunuh Yahya Sinwar adalah kemenangan terbesar Israel sejauh ini dalam perang melawan Hamas di Gaza. Kematiannya menjadi pukulan telak bagi Hamas, organisasi yang diubah oleh Sinwar menjadi kekuatan tempur yang mengakibatkan kekalahan terparah bagi Israel sepanjang sejarah.
Alih-alih tewas dalam operasi khusus yang telah direncanakan sebelumnya, Sinwar tewas dalam sebuah operasi pasukan Israel di Rafah, Gaza selatan.
Sebuah foto yang diambil di tempat kejadian perkara menunjukkan Sinwar, mengenakan perlengkapan tempur, tergeletak tewas di reruntuhan bangunan yang dihantam tembakan tank.
Baca juga: Yahya Sinwar Sempat Ikat Lengannya yang Pendarahan Pakai Kabel Listrik
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memuji para tentara Israel dan menegaskan bahwa betapapun besarnya kemenangan, ini bukanlah akhir dari perang.
"Hari ini kita kembali memperjelas apa yang terjadi pada mereka yang menyakiti kita. Hari ini kita sekali lagi menunjukkan kepada dunia kemenangan kebaikan atas keburukan.
"Namun, saudara-saudara terkasih, ini belum berakhir. (Perang) ini sulit dan sangat merugikan kita." Netanyahu dan sebagian besar warga Israel yang mendukung perang di Gaza membutuhkan kemenangan.
Netanyahu telah berulang kali mengungkapkan tujuannya—menghancurkan Hamas sebagai kekuatan militer dan politik dan membawa pulang para sandera.
Belum satu pun tujuan ini tercapai, meski perang telah berlangsung selama setahun dan telah menewaskan sedikitnya 42.000 warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza.
Hingga kini, sandera yang tersisa belum berhasil dibebaskan, sementara Hamas terus melawan dan kerap kali membunuh tentara Israel. Membunuh Sinwar adalah kemenangan yang diinginkan Israel.
Baca juga: Kematian Yahya Sinwar, Warga Gaza Anggap Sebagai Simbol Kepahlawanan
Namun, hingga Netanyahu dapat mengeklaim bahwa tujuannya telah tercapai, perang di Gaza—sesuai yang dia katakan—akan terus berlanjut.
Yahya Sinwar lahir pada 1962 di sebuah kamp pengungsi di Khan Younis, Jalur Gaza. Dia berusia lima tahun ketika kamp tersebut direbut oleh Israel dari Mesir dalam perang Timur Tengah pada 1967.
Keluarganya termasuk di antara 700.000 warga Palestina yang melarikan diri dari rumah mereka oleh pasukan Israel dalam perang pada 1948. Keluarganya berasal dari kota yang kini dikenal sebagai Ashkelon, yang berdekatan dengan perbatasan utara Jalur Gaza.
Ketika berusia sekitar 20 tahun, dia dihukum oleh Israel atas pembunuhan empat informan Palestina. Selama 22 tahun di penjara, dia belajar bahasa Ibrani dan mempelajari seluk-beluk Israel.
Waktu yang dia habiskan di penjara membuat Israel memiliki catatan gigi dan sampel DNA, yang berarti mereka dapat mengidentifikasi jasadnya. Sinwar dibebaskan pada 2011, sebagai bagian dari pertukaran 1.000 tahanan Palestina dengan seorang tentara Israel, Gilad Shalit.
Pada 7 Oktober tahun lalu—dalam rangkaian serangan yang direncanakan dengan cermat—Sinwar dan anak buahnya menyerang Israel, menimbulkan kekalahan terparah dalam sejarah Israel dan trauma kolektif yang masih sangat terasa hingga kini.
Pembunuhunan sekitar 1.200 warga Israel dan penyanderaan mengingatkan banyak orang Israel pada holokos yang dilakukan Nazi.
Pengalaman Sinwar dalam pertukaran tahanan pasti telah menyakinkannya mengenai nilai dan kekuatan penyanderaan.
Di Tel Aviv, keluarga dari 101 orang yang hingga kini masih disandera Hamas di Gaza—Israel mengatakan, setengah dari mereka mungkin sudah meninggal—melakukan demonstrasi di alun-alun tempat mereka biasa berkumpul selama setahun terakhir.
Baca juga: Mohammad Sinwar Berpeluang Pimpin Hamas Gantikan Yahya Sinwar yang Dibunuh Israel
Mereka mendesak Pemerintah Israel untuk meluncurkan negosiasi baru demi memulangkan kerabat mereka. "Netanyahu, jangan kubur para sandera.
Pergilah sekarang ke mediator dan ke publik dan sampaikan inisiatif baru Israel," ujar Einav Zangauker, ibu Matan Zangauker yang disandera Hamas.
"Jika Netanyahu tidak memanfaatkan momen ini dan tidak tergerak sekarang untuk mengeluarkan inisiatif baru Israel, itu berarti dia telah memutuskan untuk meninggalkan para sandera dalam upaya untuk memperpanjang perang dan memperkuat kekuasaannya.
"Kami tidak akan menyerah sampai semua orang kembali."
Banyak warga Israel yakin bahwa Netanyahu ingin memperpanjang perang di Gaza demi menunda hari perhitungan atas kegagalannya memperketat keamanan Israel sehingga memungkinkan Sinwar dan anak buahnya masuk ke Israel. (Kompas.com/Tribun).