Donald Trump jadi presiden lagi, apakah diaspora Indonesia di AS perlu khawatir?
Kebijakan imigrasi Donald Trump yang ketat pada periode pertamanya sebagai presiden AS turut berdampak terhadap orang Indonesia di…
Marshell mengusulkan Kemenlu RI memaksimalkan fasilitas yang sudah ada seperti Kartu Masyarakat Indonesia Di Luar Negeri (KMILN) sebagai tanda pengenal WNI.
Marshell berpendapat sistem KMILN bisa digunakan untuk memetakan orang Indonesia di AS sehingga lebih memudahkan jika ada yang membutuhkan perlindungan.
“Banyak diaspora Indonesia di AS yang masih segan untuk mendaftar KMILN ini karena memang ada yang statusnya ilegal. Tapi balik lagi, Kemenlu sejatinya hadir untuk melindungi masyarakat Indonesia terlepas dari legal atau tidaknya,” ujar Marshell.
Menanggapi hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Roy Soemirat, mengatakan pihaknya “tidak dalam posisi untuk memberikan komentar terhadap hal-hal yang tidak didasarkan pada fakta yang ada di lapangan”.
“Kebijakan pemerintah RI akan selalu dilakukan berdasarkan kajian mendalam dan menyeluruh mengenai adanya suatu situasi khusus yang memerlukan penanganan khusus,” ujarnya.
“Adapun mengenai hal-hal terkait isu perlindungan WNI di luar negeri, tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum nasional Indonesia yang berlaku dan juga turut mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara setempat.”
‘Masuklah secara legal’
Sebanyak empat dari 10 pemilih Pilpres AS mengatakan imigran yang tinggal di AS secara ilegal harus dideportasi ke negara asal mereka, menurut data AP VoteCast, survei terhadap lebih dari 120.000 pemilih AS yang dilakukan oleh NORC di University of Chicago.
Angka itu naik dari sekitar tiga dari 10 orang yang mengatakan hal yang sama pada tahun 2020.
Tidak semua diaspora Indonesia merasakan ketakutan akan Trump yang bakal menjadi presiden AS ke-47.
Elvy Bardales, 48 tahun, yang baru memperoleh kewarganegaraan AS pada tahun ini mengaku memilih Trump pada Pilpres 2024 kemarin. Meski pada periode pertamanya dia kecewa ketika Trump terpilih, lambat laun dia mengaku punya perspektif berbeda.
“Banyak yang menyebut pemerintahan [Trump] anti-imigran, [tapi] saya tidak sepenuhnya percaya itu. Trump menghargai orang-orang yang datang ke sini secara legal dan berkontribusi pada negara,” ujar Elvy yang meninggalkan Indonesia pada 1999.
Elvy adalah satu dari sejumlah orang yang hengkang dari Indonesia karena merasa takut setelah tragedi Mei 1998. Butuh waktu 25 tahun baginya untuk memperoleh kewarganegaraan AS.
Elvy mengaku tidak mendapat kabar tentang upaya deportasi terhadap orang Indonesia yang juga sama-sama terimbas 1998 di New Hampshire pada tahun 2017.
Dia mengaku harus menyewa pengacara untuk mengurus pergantian visanya setelah suakanya ditolak.
“Memang butuh uang dan kesabaran, tetapi, pemerintahan AS tidak akan mendeportasi tanpa alasan,” ujarnya.
Di sisi lain, Elvy mengakui ada banyak kasus di mana orang Indonesia menggunakan tragedi 1998 sebagai alasan untuk mendapatkan suaka. Padahal, pada kenyataannya belum tentu mereka benar-benar terkena dampak tragedi tersebut.
“Pemerintah AS menuntut bukti-bukti yang jelas – kalau tidak ada, bisa ditolak,” ujar Elvy.
Elvy sendiri mengaku mendukung “rencana deportasi massal pada Januari 2025” yang menurutnya diperlukan mengingat kegagalan pemerintahan sebelumnya dalam mengelola imigrasi.
“Bagi warga Indonesia yang bercita-cita untuk belajar, bekerja, atau tinggal di AS, saya sangat menyarankan untuk datang melalui jalur legal. Saya tidak mendukung masuk ke negara secara ilegal atau tinggal di sini tanpa dokumen yang tepat,” ujar Elvy.
Kembali ke Icha, dia menyebut sekalipun dimungkinkan, deportasi massal akan sangat sulit dilakukan AS.
“Imigran ilegal itu sudah menjadi salah satu urat nadi di Amerika. Untuk ‘membersihkan’ tanah ini dari imigran ilegal kayaknya enggak mungkin,” ujar Icha.