'Kakek saya adalah pembunuh massal terbesar dalam sejarah' — Kesaksian cucu komandan Nazi
Kai sedang menyimak pelajaran sejarah di bangku kelas 6 SD ketika guru sejarahnya menyebut nama yang menarik perhatiannya: Rudolf…
"Faktanya, ayah saya selalu sangat lembut, orang yang sangat pendiam. Saya harus berusaha keras untuk mendapatkan senyuman atau jawaban ya atau tidak darinya."
Kai mengatakan bahwa justru karena sifat pendiam ayahnya, Hans Jürgen Höss, dia tidak pernah mengetahui masa lalu atau tentang masa kecil sang ayah.
"Saya rasa, saya hanya sekali mendengar dia mengatakan bahwa dia teringat sesuatu ketika Paman Heiney, yaitu Heinrich Himmler—komandan pasukan Nazi—datang dari Berlin untuk membawakannya beberapa mainan untuk Natal ."
"Saya tidak tahu seberapa banyak yang saya ingat, maksud saya, [ayah saya] berusia 6 atau 7 tahun ketika semua ini terjadi."
Beberapa penyebutan yang Hans sampaikan kepada Kai tentang kakeknya cenderung berasal dari seorang ayah yang penuh kasih sayang: "Ayah saya memiliki pengalaman yang baik dengan ayahnya; misalnya, mereka naik perahu di sungai, dan kisah itulah yang dia bagikan kepada kami.”
Sementara, Kai menggambarkan sang ibu sebagai "sangat giat, selalu menjaga kesan baik di kota kecil tempat semua orang saling mengenal."
Itu sebabnya Kai tidak pernah membayangkan apa yang akan dia temukan ketika dia mulai membaca salinan memoar kakeknya yang disimpan ibunya di rumah.
Kenangan Auschwitz
Dalam periode antara menunggu eksekusi hingga digantung di sebelah krematorium Auschwitz I pada April 1947, Rudolf Höss menulis otobiografinya.
Dalam memoarnya, Höss menggambarkan kengerian yang menjadi tanggung jawabnya selama empat tahun bertugas di Auschwitz:
Kami membahas cara dan metode pemusnahan.
Hal ini hanya dapat dilakukan dengan gas, karena sangat mustahil untuk menyingkirkan sejumlah besar orang dengan tembakan. Hal ini akan menjadi beban yang sangat besar bagi pasukan SS (pasukan keamanan Nazi) yang bertanggung jawab melakukan hal tersebut, terutama karena adanya perempuan dan anak-anak di antara para korban.
Setelah Kai menyadari bahwa dia adalah cucu komandan Auschwitz, dia menemukan salinan memoar kakeknya yang disimpan sang ibu selama bertahun-tahun.
Kai mengatakan bahwa meskipun ayahnya mengatakan yang sebenarnya kepada ibunya, dia tidak pernah secara terbuka membahas apa yang dia anggap memalukan.