Ribuan Tentara IDF Digerogoti Penyakit Mental, Media Israel: Angka Bunuh Diri Meningkat
Terjadi peningkatan kasus bunuh diri di kalangan personel tentara Israel di IDF sebagai dampak trauma psikologis perang yang berlangsung.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Ribuan Tentara IDF Digerogoti Penyakit Mental, Media Israel: Angka Bunuh Diri Meningkat
TRIBUNNEWS.COM - Media Israel, Yedioth Ahronoth menyoroti kondisi psikologis rapuh personel tentara Israel (IDF) yang menderita gangguan mental berupa gangguan stres pasca-trauma (PTSD) akibat perang di Jalur Gaza dan Lebanon.
Dalam laporkan, media tersebut menyebut terjadi peningkatan kasus bunuh diri di kalangan personel IDF sebagai dampak trauma psikologis perang yang berlangsung.
Baca juga: Awalnya Semangat Mau Balas Dendam ke Hamas, Pasukan Cadangan Israel Kini Makin Ogah Berperang
"Setidaknya ada enam tentara Israel melakukan bunuh diri dalam beberapa bulan terakhir," kata laporan tersebut dilansir Khaberni, Sabtu (23/11/2024).
Surat kabar tersebut melaporkan kalau personel IDF yang melakukan bunuh diri termasuk di antara mereka yang bertempur dalam waktu lama di Gaza dan Lebanon.
Laporan menekankan kalau jumlah yang terpublikasi tersebut tidak mencerminkan kenyataan yang terjadi secara rinci.
"Hal ini karena penolakan pihak IDF untuk mempublikasikan jumlah lengkap tentara yang melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri," kata laporan tersebut.
Menurut Yedioth Ahronoth, tentara Israel berjanji untuk mempublikasikan data tersebut pada akhir tahun.
Media tersebut menggarisbawahi kalau tren ini menunjukkan kalau paparan kekejaman, kelelahan, dan kondisi yang keras dalam perang mendorong banyak personel IDF ke ambang kehancuran mental dan psikis.
Laporan tersebut juga mengatakan kalau ribuan tentara IDF telah melapor ke klinik khusus yang didirikan oleh tentara Israel.
Laporan menambahkan bahwa sepertiga dari tentara penyandang disabilitas karena perang mengaku menderita gangguan stres pasca-trauma.
“Ini hanyalah permulaan, seiring dengan sejauh mana dampaknya keruntuhan mental para prajurit akan menjadi jelas jika perang berhenti," kata laporan tersebut.
Dipersulit Saat Mau Mundur
Menurut banyak kesaksian dari hasil wawancara yang didapat surat kabar Israel tersebut, hampir setiap unit yang berperang di Gaza atau Lebanon memiliki sejumlah besar pejuang yang didemobilisasi karena alasan mental.
Laporan menambahkan kalau banyak tentara IDF yang ingin meninggalkan perang justru menghadapi kesulitan dari pimpinan dan otoritas kesehatan mental Israel.
Dipersulitnya permohonan untuk mundur dari perang ini dikarenakan Israel tengah dihadapkan pada kondisikekurangan jumlah tentara.
Pun, muncul sejumlah perlawanan dari kebijakan tersebut.
"Satu batalyon infanteri reguler IDF dilaporkan mempertimbangkan untuk memperbolehkan para personelnya untuk mengajukan permohonan gugatan terhadap para panglima dengan alasan tidak memperhitungkan beban mental yang dibebankan kepada para prajurit," kata laporan tersebut dilansir Khaberni.
Digerogoti Post-Trauma Syndrome Perang
Media-media internasional sebelumnya menyoroti gangguan psikologis yang diderita tentara Israel, setelah ulasan surat kabar Israel The Jerusalem Post melaporkan kalau muncul lebih banyak kasus bunuh diri dan komplikasi pasca-trauma tercatat di antara tentara IDF yang kembali dari pertempuran di Gaza.
Surat kabar tersebut melaporkan kisah-kisah yang menggambarkan kengerian yang dialami tentara Israel di Gaza, dan menyatakan bahwa mereka yang selamat dari kematian takut dipanggil untuk berperang lagi ketika perang meluas hingga ke Lebanon.
Menurut Kantor Reintegrasi Kementerian Pertahanan Israel, dan apa yang dilaporkan oleh media elektronik The Times of Israel, sekitar 5.200 tentara Israel, atau 43 persen dari korban luka yang diterima di pusat rehabilitasi, menderita stres pasca-trauma.
Hal itu dibarengi dengan perkiraan bahwa “sekitar 100 ribu orang akan dirawat”, setidaknya setengah dari mereka akan menderita gangguan stres pasca-trauma pada tahun 2030.”
Angka Desersi Militer Naik Tajam
Laporan media Israel berbahasa Ibrani, Haaretz mengulas seputar kekuatan personel militer Israel yang menurun drastis seiring berlanjut dan meluasnya perang di berbagai front.
Sejauh ini, Israel mengandalkan personel dari warga sipil untuk masuk ke pasukan cadangan (reserve division) dalam kerangka wajib militer untuk memenuhi kebutuhan tentara di medan perang.
Pasukan cadangan ini menjadi ujung tombak Tentara Israel (IDF) dalam agresi yang dilakukan di Jalur Gaza maupun di Lebanon Selatan.
Baca juga: Al Qassam Lumpuhkan Komandan Brigde Kfir Israel di Gaza Utara, Pakar: Secara Militer, Ini Keajaiban
Haaretz mengabarkan, awalnya, setelah serangan Banjir Al-Aqsa yang dilancarkan oleh milisi perlawanan Palestina, Hamas di permukiman sekitar Gaza pada 7 Oktober 2023, banyak warga Israel yang mendaftar menjadi pasukan cadangan di tentara Israel sebagai aksi balas dendam.
"Ketika perang terus berlanjut dan di tengah banyaknya kerugian manusia dan ekonomi, perilaku menolak untuk mengabdi semakin meningkat di kalangan prajurit cadangan," kata laporan media tersebut dikutip Khaberni, Rabu (20/11/2024).
Haaretz mengungkapkan kalau sepertiga dari korban perang di kalangan tentara Israel adalah anggota pasukan cadangan.
Meningkatnya angka desersi pasukan cadangan ini juga merujuk pada naiknya keraguan mengenai motif untuk melanjutkan perang.
"Terutama soal kelelahan ekstrem yang dialami prajurit cadangan setelah bertempur dalam waktu yang lama di perang jangka panjang. Banyak dari mereka yang mengabdi (memenuhi panggilan wajib militer) selama perang berlangsung,. Hal ini menyebabkan mereka harus jauh dari keluarga selama berbulan-bulan, dan beberapa dari mereka kehilangan pekerjaan atau harus berhenti belajar," kata lapora tersebut mengulas faktor-faktor penyebab tingginya angka desersi militer di pasukan cadangan IDF .
Menurut surat kabar Haaretz, sepertiga tentara cadangan Israel bertugas lebih dari 150 hari, dan setengah dari mereka bertugas lebih dari 100 hari, selama 13 bulan perang.
"Banyak anggota cadangan merasa semakin tidak puas dengan dukungan pemerintah terhadap rancangan undang-undang yang memperbolehkan orang Yahudi ultra-Ortodoks untuk terus dibebaskan dari dinas militer, sehingga menambah beban bagi anggota pasukan cadangan," kata laporan tersebut.
Satu tahun setelah perang Gaza meletus, tingkat respons untuk memenuhi panggilan bertugas di pasukan cadangan menurun tajam.
"Antara 15 persen dan 25?ri semua tentara cadangan tidak hadir saat dipanggil, sedangkan tingkat respons adalah 100 persen pada awal perang," kata laporan tersebut.
Kurangnya respons mendorong tentara Israel, pada bulan November 2024, untuk mengurangi aktivitas militer tentara cadangan dari rata-rata 20 minggu per prajurit menjadi hanya 9 minggu, untuk mengurangi tekanan pada mereka dan memotivasi mereka agar patuh ketika dipanggil untuk bertugas.
Ribuan Personel Menolak Bertugas Kembali
Adapun IDF mengatakan saat ini tengah berhadapan dengan masalah disersi besar-besaran.
Sejumlah besar tentara cadangan (reserve division) Israel dilaporkan menolak mematuhi perintah untuk dikerahkan ke putaran baru pertempuran yang terjadi di berbagai front, termasuk di Jalur Gaza dan di front utara melawan Hizbullah.
"IDF mengatakan ada kenaikan 15 hingga 25 persen dalam pasukan cadangan yang menolak untuk menghadap ke markas untuk diterjunkan ke pertempuran di Gaza dan Lebanon selatan," tulis laporan RNTV, Senin (11/11/2024).
Baca juga: Rahasia Hamas Masih Bisa Terus Tewaskan Tentara Israel Meski Diberondong IDF dalam Setahun Perang
Tingginya angka disersi pasukan cadangan Israel ini telah mempengaruhi keputusan operasional militer IDF.
Menurut IDF, sejumlah alasan umum penolakan bertugas ini adalah kelelahan perang di antara tentara yang berpartisipasi dalam pertempuran selama berbulan-bulan pada suatu waktu; dan sekarang dipanggil lagi.
Selain itu, tidak ada dana yang dialokasikan untuk mendukung kehidupan para anggota pasukan cadangan.
Sebagai informasi, pasukan cadangan ini direkrut dari sipil yang dikenai wajib militer. Dengan begitu, saat mengikuti program wajib militer, banyak dari mereka terpaksa kehilangan bisnis dan pendapatan.
Rancangan undang-undang yang sangat diperjuangkan yang tampaknya untuk mengecualikan para pria dari Kaum Yahudi Haredi – sekitar 60.000 orang – dari wajib militer juga memainkan peran dalam insiden desersi besar- besaran ini.
"Situasi ini menempatkan tekanan lebih lanjut pada operasi IDF," tulis RNTV.
Operasi Qassam Tewaskan 15 IDF dari Jarak Dekat
Tekanan yang dimaksud adalah tantangan di lapangan yang tidak juga berhasil diatasi pasukan Israel.
Dalam perkembangan peperangan yang berlarut selama setahun lebih, IDF tidak juga mampu memberantas gerakan Hamas.
Alih-alih begitu, IDF jusrtu kerepotan menghadapi petempur Hizbullah Lebanon di front Utara.
Di sisi lain, Gaza juga menyumbang besar dalam angka kematian personel IDF.
Terbaru, Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam mengatakan pada Minggu (10/11/2024) kalau mereka terlibat kontak senjata dengan unit yang terdiri dari 15 tentara Israel dari jarak dekat.
Qassam mengklaim, serangan jarak dekat membunuh semua tentara Israel tersebut.
"Mereka melawan unit dengan senjata ringan dan granat di utara Beit Lahia di Jalur Gaza setelah menargetkan mereka dengan RPG," menurut pernyataan resmi di saluran Telegram Brigade Al Qassam.
Dua Armored Personnel Carriers (APC) Israel, juga menjadi sasaran roket “Yassine-105” yang bermuatan Tandem, tambah keterangan Al Qassam.
Sebuah alat peledak juga diledakkan pada buldoser militer di kamp Jabalia.
Al-Qassam juga melaporkan bahwa mereka menargetkan pasukan Israel di dekat Koridor Netzarim dengan mortir bekerja sama dengan “Brigade Abu Ali Mustafa”.
Taktik Efektif Al Qassam
Media Amerika Serikat (AS), The New York Times mengutip analis militer dan tentara Israel melaporkan taktik perang gerilya - yang dilakukan oleh Brigade Al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Gaza utara - membuat mereka sulit dikalahkan militer Israel (IDF).
Sumber-sumber ini, menurut laporan itu, mengatakan kalau Hamas mempunyai cukup petempur dan amunisi untuk "menyeret Israel dalam perang yang lambat dan tanpa kemenangan."
Baca juga: Komandan Brigade Lapis Baja ke-401 Israel Tewas di Jabalia, Hamas Solid Sepeninggal Yahya Sinwar
Ulasan itu menunjukkan apa yang dia gambarkan sebagai taktik "hit and run", memungkinkan Brigade Al Qassam merugikan Israel dan menghindari kekalahan.
The New York Times menjelaskan, terbunuhnya seorang komandan brigade tentara Israel di Gaza utara pada Minggu, menegaskan kalau sayap militer Hamas, meskipun tidak mampu beroperasi sebagai milisi dan tentara tradisional, masih menjalankan perang gerilya yang kuat.
Baca juga: Rincian Penargetan Komandan Brigade 401 Israel di Jabalia, Al Qassam: 12 Infanteri IDF Kena Bom TV
Ulasan juga menunjukkan kalau serangan mendadak yang menewaskan seorang perwira senior Israel itu menunjukkan bagaimana Hamas telah bertahan selama hampir satu tahun sejak Israel menginvasi Gaza akhir Oktober lalu.
"Qassam kemungkinan besar akan mampu melakukan hal yang sama bahkan setelah pemimpinnya, Yahya Sinwar, gugur dalam konfrontasi dengan tentara pendudukan Israel pekan lalu," kata laporan tersebut dikutip Khaberni, Selasa (22/10/2024).
Jaringan Terowongan Masih Utuh
Menurut New York Times, para analis dan tentara Israel mengatakan bahwa pejuang Hamas yang tersisa bersembunyi di balik bangunan-bangunan yang hancur dan jaringan terowongan bawah tanah yang luas.
Banyak di antara terowongan tetap utuh meskipun ada upaya Israel untuk menghancurkannya.
Pernyataan-pernyataan ini muncul mengingat kerugian yang diderita pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza utara, dan ketidakmampuan mereka selama berminggu-minggu untuk menyelesaikan pertempuran dengan pejuang perlawanan meskipun terjadi pengepungan yang menyesakkan dan penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia.
Tentara pendudukan Israel mengumumkan - pada hari Minggu - pembunuhan komandan Brigade 401, Kolonel Ihsan Daqsa, dan cedera serius terhadap perwira lainnya dalam pertempuran di Jabalia, utara Jalur Gaza.
Ini adalah kematian perwira dengan pangkat tertinggi yang terbunuh sejak awal invasi darat ke Jalur Gaza setahun yang lalu.
Radio Tentara Israel mengatakan bahwa Kolonel Daqsa didampingi oleh 3 petugas lainnya di dua tank di dalam Jabalia di zona pertempuran, dan menambahkan bahwa dia dan petugas meninggalkan tank sejauh 20 meter.
Ketika mereka bergerak, sebuah alat peledak diledakkan pada mereka. .
Radio Tentara Israel menambahkan kejadian yang menewaskan Kolonel Daqsa dan melukai 3 perwira, termasuk wakil komandan Divisi 162 dan komandan Batalyon 52.
Laporan juga mencatat kalau Daqsa termasuk di antara 4 perwira berpangkat kolonel yang tewas sejak awal. perang di Jalur Gaza pada 7 Oktober tahun lalu.
Israel Ubah Taktik di Gaza Utara
Dalam beberapa hari terakhir, tentara Israel mengubah taktik di Gaza utara.
Mereka mengerahkan kembali Divisi Lapis Baja ke-162 di Jabaliya dan mendatangkan ribuan tentara infanteri.
Alasan di balik pengerahan itu adalah karena Perlawanan Palestina telah berhasil menargetkan dan menghancurkan sejumlah besar tank Israel dan kendaraan militer lainnya.
Taktik pejuang Palestina begitu efektif sampai-sampai pejabat militer Zionis tinggi, yang ditugaskan melaksanakan apa yang disebut 'Rencana Jenderal', terbunuh dan terluka di Jabaliya juga sekitarnya.
Saat itulah pasukan infanteri Israel didatangkan, sebagian besar diambil dari Tepi Barat.
Tujuan pasukan infanteri adalah untuk terlibat dalam pertempuran yang berbeda, dengan tujuan akhir menargetkan penduduk sipil dan membersihkan Gaza utara secara etnis dari penduduknya, mengutip Palestine Chronicle, Kamis (7/11/2024).
Namun, pertempuran itu kini menghadapi kendala serius.
Perlawanan Palestina kini mahir dalam pertempuran jalanan dan mampu mengubah taktiknya untuk menargetkan dan melenyapkan penjajah baru Gaza.
Menurut pernyataan Brigade Al-Qassam, para pejuangnya berhasil menghabisi lima tentara Israel dari 'jarak dekat', menggunakan senapan mesin dan granat tangan.
Pertempuran itu, menurut Al-Qassam, terjadi di Jalan Hawaja di pusat kamp pengungsi Jabaliya, di Gaza utara.
Perlu dicatat bahwa perubahan besar yang sedang dilakukan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu di jajaran kementerian pertahanan sedang berlangsung di tengah pertempuran yang menentukan dan sebagian besar berakhir dengan kekalahan Israel di Gaza utara dan Lebanon selatan.
Baca juga: Drone Hizbullah, Kunci dalam Perang dengan Israel
Dampak dari keputusannya kemungkinan akan terasa di medan perang juga.
Update Perlawanan Brigade Al-Qassam
Lantas berikut ini pernyataan terbaru Brigade Al-Qassam yang dikomunikasikan melalui saluran Telegram mereka dan dipublikasikan di sini dalam bentuk aslinya.
Di laporkan Brigade Al-Qassam menargetkan tank Zionis Merkava dengan peluru Yassin 105 di dekat Rumah Sakit Al-Yemen Al-Saeed di tengah kamp Jabalia, utara Jalur Gaza.
Pejuang Al-Qassam pada hari Senin (4/11/2024) berhasil melenyapkan pasukan infanteri Israel yang terdiri dari 5 tentara dari jarak dekat menggunakan senapan mesin dan granat tangan di Jalan Al-Hawaja di pusat kamp Jabaliya, utara Jalur Gaza.
“Unit teknik Brigade Al-Qassam meledakkan alat peledak berkekuatan tinggi dalam buldoser D9 di poros lingkungan sekolah di kamp Tulkarem," ujar sayap militer Hamas tersebut lewat pernyataannya.
(oln/rntv/khbrn/aja/*)