Fatwa Terhadap VPN Dinilai Mengancam Kebebasan Digital di Pakistan
Pemerintah Pakistan mengeluarkan fatwa haram terhadap Virtual Private Network (VPN), yang memungkinkan pengguna terhubung ke internet secara.
Editor: Wahyu Aji
Perkembangan ini telah menarik perhatian organisasi hak digital, kelompok masyarakat sipil, dan pengamat internasional, yang khawatir dengan potensi konsekuensi terhadap kebebasan berekspresi, privasi, dan ekonomi digital.
Dampak pada Kebebasan Digital di Pakistan
Kebebasan internet di Pakistan telah lama menjadi perhatian, dengan pemerintah yang telah memblokir akses ke berbagai situs web dan platform.
Situs media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube, menghadapi penyensoran berkala, sering kali dengan dalih mengendalikan konten yang dianggap menyinggung sentimen agama atau nasional.
Pada tahun 2016, Otoritas Telekomunikasi Pakistan (PTA) memblokir sejumlah aplikasi dan situs web, termasuk Tinder, Grindr, dan Vimeo, dengan alasan terkait moralitas dan keamanan nasional. Dengan menargetkan VPN, fatwa CII mengancam akan memperluas kendali pemerintah atas penggunaan internet dengan mempersulit warga negara untuk mengakses konten yang diblokir atau dibatasi.
VPN adalah salah satu alat terakhir yang tersisa bagi pengguna untuk menjaga privasi dan menghindari semakin banyaknya tindakan penyensoran yang diberlakukan oleh pemerintah. Dengan fatwa yang berpotensi mengarah pada tindakan keras terhadap penggunaan VPN, warga Pakistan dapat menghadapi pembatasan yang lebih besar pada aktivitas daring mereka.
VPN juga berfungsi sebagai alat penting bagi jurnalis, aktivis, dan kelompok lain yang mengandalkan internet untuk berbagi informasi penting tanpa takut akan pembalasan. Di negara-negara dengan kebebasan pers terbatas, VPN memungkinkan jurnalis untuk berkomunikasi dengan outlet media asing, mengakses sumber, dan melewati sensor pemerintah.
Di Pakistan, di mana kebebasan media semakin terancam, terutama setelah pemilihan umum 2018, pembatasan VPN dapat berdampak buruk pada jurnalisme investigasi, pelaporan hak asasi manusia, dan kemampuan warga negara untuk mengorganisasi perubahan sosial.
Kontrol dan Pengawasan Pemerintah
Fatwa tersebut merupakan bagian dari tren yang lebih luas di Pakistan menuju peningkatan pengawasan dan kontrol pemerintah atas ruang digital. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk memusatkan kontrol atas penggunaan internet, dengan fokus khusus pada pengaturan platform daring dan pemantauan lalu lintas internet.
Salah satu contoh penting dari hal ini adalah "Peraturan Perlindungan Warga Negara (Terhadap Bahaya Daring)" yang kontroversial yang diperkenalkan pada tahun 2020. Aturan tersebut bertujuan untuk menegakkan regulasi yang lebih ketat terhadap platform media sosial dan meningkatkan pengawasan pemerintah terhadap aktivitas daring.
Berdasarkan peraturan ini, perusahaan media sosial diharuskan untuk mendirikan kantor di Pakistan dan menyimpan data di server lokal, sehingga memudahkan pemerintah untuk memantau aktivitas pengguna. Langkah-langkah ini dikritik secara luas oleh kelompok hak digital, yang berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut memberi pemerintah terlalu banyak kekuasaan untuk menyensor konten daring dan memantau komunikasi pribadi warga negara.
Fatwa terhadap VPN sesuai dengan agenda yang lebih luas ini dengan mempersulit warga negara untuk melewati pengawasan pemerintah.
Dengan membatasi penggunaan VPN, pemerintah dapat lebih mudah memantau lalu lintas internet dan menegakkan sensor. Hal ini khususnya mengkhawatirkan mengingat semakin tingginya ketergantungan pada platform daring untuk komunikasi, pengorganisasian politik, dan akses informasi penting.
Kebebasan Berbicara di Pakistan
Fatwa tersebut, jika diterapkan, dapat berkontribusi pada lingkungan di mana pengguna internet tidak dapat melindungi privasi mereka atau mengakses informasi secara bebas tanpa takut akan pengawasan atau pembalasan.
Dampak potensial fatwa tersebut pada lanskap digital Pakistan menimbulkan beberapa pertanyaan hukum dan sosial yang penting.