Being 737 Jeju Air Nahas Sehari Terbang ke 4 Negara, Perawatan Pra-Keberangkatan Cuma 28 Menit
Jadwal pemeliharaan yang ketat menimbulkan kekhawatiran bahwa Jeju Air lebih mengutamakan efisiensi operasional dibandingkan keselamatan penerbangan.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM - Pesawat Boeing 737-800 Jeju Air nomor penerbangan 2216 yang jatuh di Bandara Internasional Muan, Korea Selatan, memiliki jadwal terbang yang sangat padat.
Dalam sehari, pesawat ini terbang ke empat negara dalam sehari dengan waktu tempuh masing-masing satu jam sehingga hanya memiliki waktu 28 menit untuk pemeriksaan pesawat sebelum terbang lagi.
Perawatan pra-keberangkatan pesawat 28 menit memang waktu minimum resmi yang diamanatkan untuk pesawat B737 oleh Pemerintah Korea.
Namun, jadwal pemeliharaan yang ketat telah menimbulkan kekhawatiran mengenai apakah maskapai berbiaya rendah (LCC) ini lebih mengutamakan efisiensi operasional dibandingkan keselamatan.
Ini karena pesawat tersebut menjalani rencana perjalanan yang padat sehari sebelum kecelakaan terjadi, yakni terbang ke empat kota internasional di 4 negara tanpa waktu istirahat yang signifikan.
Pesawat naas tersebut mengoperasikan penerbangan tujuan Muan dan Kota Kinabalu, Nagasaki, Taipei dan Bangkok dengan total delapan keberangkatan dalam satu hari, berbagai sumber mengatakan pada hari Senin.
Menurut standar industri, pesawat memerlukan waktu untuk perawatan, pembersihan, dan pengisian bahan bakar pada setiap rute penerbangan.
Namun, pada 27 November 2024, penerbangan tersebut hanya menghabiskan waktu 62 menit di darat di Bandara Internasional Muan sebelum berangkat ke Kota Kinabalu.
Ini menunjukkan bahwa pesawat tersebut hanya 28 hingga 30 menit yang dialokasikan untuk pemeliharaan.
Baca juga: AS dan Boeing Turunkan Investigator Selidiki Kecelakaan B737 800 Jeju Air
Seorang mekanik veteran dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahu dengan pesawat B737 di maskapai penerbangan low cost carrier mengatakan, waktu perawatan selama 28 menit tidak cukup untuk memeriksa lampu peringatan kokpit dan memeriksa secara visual bagian luar untuk mengetahui adanya kerusakan.
"Waktu 28 menit ini pada dasarnya hanyalah penelusuran, bukan pemeriksaan mendetail," ujarnya. Karena itu, menjadi tidak memadai dari segi waktu yang tersedia.
Pesawat di maskapai low cost carrier sering kali tidak memaksimalkan waktu daripada waktu minimum yang diwajibkan oleh regulasi/pemerintah demi memaksimalkan keuntungan.
Ini karena setiap tambahan segmen penerbangan akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan perusahaan.
Baca juga: Nyaris Terjadi Lagi, Pilot Jeju Air Boeing 737-800 Putuskan RTB karena Masalah Roda Pendaratan
Seorang mekanik yang bekerja di maskapai penerbangan low cost carrier lain mengatakan, membatasi waktu persiapan menjadi sekitar satu jam, termasuk pemeliharaan, memungkinkan maskapai penerbangan untuk melaksanakan jadwal yang ambisius," ujarnya.
Misalnya, terbang ke tiga kota di Asia Tenggara dan satu kota di Jepang dalam satu hari.
Dibeli Jeju Air Tahun 2017 Sebelumnya Dioperasikan Rynair di Eropa
Pesawat Boeing 737-800 Jeju Air yang terlibat dalam kecelakaan itu dibeli Jeju Air pada tahun 2017 setelah sebelumnya dioperasikan oleh Ryanair.
Rynair dikenal sebagai maskapai penerbangan low cost carrier Eropa yang terkenal dengan penjadwalan terbangnya yang agresif.
Reputasi Ryanair dalam hal perawatan minimal menimbulkan kecurigaan tentang riwayat perawatan pesawat tersebut.
Baca juga: Badan Pesawat Jeju Air Hancur Total Sulitkan Identifikasi Penumpang Tewas
“Ryanair terkenal dengan perputaran yang ketat dan mungkin telah menggunakan pesawat ini secara berlebihan selama pelayanannya."
"Pesawat tersebut mungkin sudah mencapai batas kemampuannya sebelum Jeju Air mengakuisisinya,” kata orang dalam industri tersebut.
Tragedi ini memicu kembali perdebatan mengenai apakah waktu pemeliharaan minimum yang diwajibkan pemerintah cukup untuk menjamin keselamatan.
Pengamat berpendapat bahwa standar 28 menit tidak memberikan ruang untuk mengidentifikasi potensi masalah.
Seorang mantan kepala pemeliharaan di sebuah maskapai penerbangan besar mengatakan, pemeriksaan selama 28 menit itu seperti menggunakan plester.
"Ini tidak memperhitungkan potensi kesalahan tersembunyi. Pendekatan industri terhadap keselamatan harus proaktif, bukan reaktif," ujarnya.
Cacat Roda Pendaratan Timbulkan Tanda Bahaya
Kecelakaan itu diyakini melibatkan kerusakan roda pendaratan, sehingga memicu pertanyaan lebih lanjut tentang kecukupan perawatan.
Yang mengkhawatirkan, hanya satu hari setelah kecelakaan, pesawat Boeing 737 Jeju Air lainnya juga mengalami masalah roda pendaratan.
Pesawat tersebut terpaksa kembali ke bandara segera setelah lepas landas.
“Fakta bahwa pesawat lain dengan model yang sama dari maskapai yang sama mengalami masalah serupa menyoroti masalah sistemik,” kata seorang pakar penerbangan.
Kini semakin banyak seruan dalam industri penerbangan untuk memperpanjang waktu pemeliharaan yang diwajibkan dan merombak jadwal penerbangan LCC.
“Pemeliharaan menyeluruh membutuhkan waktu lebih lama. Maskapai penerbangan mungkin perlu mengorbankan satu segmen penerbangan atau mendedikasikan sumber daya tambahan untuk inspeksi,” kata mantan kepala pemeliharaan tersebut.
Manajemen Jeju Air Tak Malu Disalahkan
Namun Jeju Air membela praktik standar operasi yang mereka jalankan selama ini.
“Kami benar-benar mematuhi jadwal yang direncanakan dan melakukan inspeksi sebelum dan sesudah penerbangan secara menyeluruh,” kata Song Kyung-hoon, kepala dukungan manajemen maskapai tersebut, dalam konferensi pers pada 28 November.
“Operasi kami tidak dapat dikategorikan sebagai berlebihan atau terburu-buru,” kata dia.
Meskipun Jeju Air melakukan pembelaan, masih ada pertanyaan apakah strategi operasionalnya memprioritaskan keuntungan dibandingkan keselamatan.
Regulator penerbangan dan pemangku kepentingan industri kini berada di bawah tekanan untuk menilai kembali pedoman yang ada, khususnya waktu perawatan minimum yang diperlukan untuk pesawat, untuk mencegah tragedi di masa depan.
Seorang mekanik yang bekerja di industri ini menggambarkan lingkungan yang penuh tekanan dalam jadwal pemeliharaan di maskapai penerbangan low cost carrier.
“Kami berpacu dengan waktu. Pemeriksaan selama 28 menit hampir tidak memberikan waktu untuk memastikan pesawat layak terbang. Sesuatu yang lebih detail tidak sesuai dengan timeline," kata dia.
“Sudah waktunya untuk mengutamakan keselamatan daripada keuntungan. Nilai minimum saja tidak cukup ketika nyawa dipertaruhkan,” kata mantan kepala pemeliharaan pesawat dikutip Korea Times.
Investigasi atas kecelakaan tersebut terus berlanjut, dan komunitas penerbangan bersiap menghadapi perubahan signifikan dalam praktik pemeliharaan dan operasional setelah tragedi tersebut.
Artikel dari Hankook Ilbo ini diterjemahkan dengan sistem AI generatif dan diedit oleh The Korea Times.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.