Terungkap Rahasia Mengapa Bau Keringat Putri Keraton Itu Wangi
Hanya dengan memakan buah itu yang sudah masak, para putri ini sudah bisa berbau bunga violces. Keringatnya wangi, dan napasnya harum.
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gara-gara tidak merakyat, kepel atau burahol menjadi tanaman langka. Bagaimana kita melestarikannya kembali sebagai pohon buah yang unik dan bermanfaat?
Aneh tapi nyata! Penyebab tidak merakyat itu ialah bau! Buahnya mengharumkan bau keringat, sampai dipakai sebagai deodoran oleh para putri keraton Raja Mataram.
Baginda menyuruh menanam pohon itu di halaman istana, untuk- diambil buahnya bagi para putri keraton.
Hanya dengan memakan buah itu yang sudah masak, para putri ini sudah bisa berbau bunga violces. Keringatnya wangi, dan napasnya harum.
Takut kualat
Kebiasaan makan buah kepel kemudian ditiru oleh para putri keraton raja-raja kecil lainnya di Jawa Tengah dan Timur. Kerajaan kecil-kecil ini kemudian menanam pohon itu juga di halaman keratonnya masing-masing.
Kebetulan di masyarakat Jawa feodal waktu itu ada semacam kepercayaan, bahwa orang yang meniru cara hidup raja dan anggota keluarganya hanya orang yang kuat, baik lahir maupun batin, seperti para adipati (semacam gubernur zaman sekarang), pangeran, pejabat kerajaan, dan panglima perang. Lainnya akan kualat.
Akibatnya, para tetua kampung dan pemimpin masyarakat mengeluarkan keputusan, bahwa rakyat jelata tidak dibenarkan menanam pohon itu.
Pohon yang sebelumnya sudah ada di desa-desa harus ditebangi dan dimusnahkan. Barangsiapa tidak mengindahkan akan diusut sampai tuntas dan dijatuhi hukuman.
Di Jawa Barat, pohon itu juga banyak tumbuh di hutan, tetapi para istri Raja Sumedang, Galuh, dan Dipati Ukur tidak tertarik pada pohon itu.
Mereka menyebutnya burahol, sampai dua orang taksonomis mancanegara yang mengidentifikasi tanaman itu memberi nama Latin Stelechocarpus burahol.
Rakyat Jawa Barat menganggap buah itu tidak bernilai, karena dagingnya tidak banyak. Sebaliknya, bijinya yang besar-besarlah yang memenuhi ruangan buah.
Akibatnya, tidak ada yang peduli ketika pohon burahol dari hutan ditebangi, setiap kali ada bagian dari hutan dibuka untuk dijadikan daerah permukiman baru.
Kalau di Jawa Tengah kepel menjadi langka karena rakyat membabatnya habis lantaran takut kualat, di Jawa Barat burahol ditebangi karena dianggap tidak ada harganya.
Tak pernah ada usaha menanamnya kembali di kebun pekarangan setiap kali ada pembukaan hutan untuk permukiman baru. Burahol Sunda ini sama jenisnya dengan kepel Jawa.
Setelah kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah punah, pohon itu ikut terancam punah karena rakyat biasa tidak ada yang berminat menanam dan melestarikannya.
Kumpulan pohon kepel yang masih ada sampai sekarang biasanya juga terdapat di dekat bekas ibukota kerajaan, seperti Loano, Purworejo, misalnya.
Ancaman punah itu sudah sejak lama diprihatinkan, jangan-jangan kepel benar-benar punah kelak."
Anak cucu kita mungkin terpaksa puas melihatnya hanya sebagai foto dan lukisan tangan hitam putih dalam buku nonfiksi yang tidak laris, ketimbang buku komik tembak-tembakan sinar laser.
Pohon hias potensial
Pohon itu lumayan indahnya, dengan batang yang tegak lurus, dan tajuk berbentuk kerucut. Cabang-cabangnya tumbuh hampir mendatar.
Di daerah atasan lebih kecil daripada di daerah bawahan, sehingga membentuk kerucut alami yang indah.
Kalau usai berbuah kemudian menumbuhkan tunas daun muda yang baru, pohon itu lebih semarak lagi, karena hijaunya daun tua dihias dengan warna merah daun muda seperti daun kayu manis.
Daun itu akan lebih mengkilat kalau tertimpa sinar matahari. Tak mengherankan, kalau ia disukai sebagai tanaman hias oleh para putri keraton,
Dengan tingginya yang dapat mencapai 20 m, pohon itu juga bagus ditanam sebagai peneduh taman yang rindang.
Tetapi rakyat jelata yang hidup di daerah sekitar garis kemiskinan tidak mempunyai waktu untuk menikmati keindahan pohon itu sebagai tanaman hias.
Waktunya senantiasa sudah habis untuk bercocok tanam tanaman pangan dan hortikultura yang bergizi.
Pada ranting-rantingnya muncul bunga jantan yang putih kekuning-kuningan semerbak mewangi.
Bunga betinanya tidak tinggal sekamar pada ranting yang sama, tetapi "pisah ranjang". la bertengger pada batang yang lebih terbuka, mulai dari pangkalnya dekat tanah sampai ke tempat percabangan dahan yang pertama.
Pohon cauliflor yang bunganya muncul pada batang ini baru dapat berbuah, kalau ada serangga yang berkunjung karena tertarik bau bunga jantan pada ranting-ranting, tapi kemudian iseng-iseng mampir ke bunga betina yang sedang mejeng di batang utama dengan warnanya yang hijau lembut kekuning-kuningan.
Kalau penyerbukan bunga berhasil, muncullah buahnya pada batang itu juga. Dompolan yang meruyak mengelilingi batang itu tampak unik dan menggemaskan.
Pada pohon yang sudah besar, batangnya sering tidak tampak karena tertutup oleh lebatnya buah. Jumlahnya bisa 2 – 8 butir tiap tandan. Padahal tandannya banyak.
Ukuran buahnya yang membulat hanya sekepal, memang mengilhami penamaannya di Jawa Tengah, kepel.
Kulitnya tertutup lapisan seperti pasir halus. Mula-mula coklat abu-abu, tetapi kemudian berubah coklat tua kalau sudah masak. Biasanya akan jatuh sendiri kalau sudah masak benar.
Bahan studi yang bagus
Daging buahnya yang kuning coklat muda seperti buah sawo terasa manis. Tetapi kalau sawo lebih banyak dagingnya karena bijinya hanya sedikit, buah kepel justru terbalik.
Daging buahnya Cuma sedikit, sedangkan bijinya besar-besar dan banyak. Ada yang sampai empat butir setiap buah.
Daging buah ini selain berbau harum sampai dipakai sebagai deodoran, juga bersifat diuretik, memperlancar pembuangan air sendiri yang kecil. Air sendiri ini juga berbau harum.
Sifat ini kemudian dimanfaatkan sebagai peluntur. Dengan manipulasi tertentu, buah kepel dapat dipakai sebagai peluntur pencegah kehamilan.
Sampai sekarang belum ada penelitian, zat apa yang menyebabkan daging buah itu berbau harum seperti bunga violces, dan zat apa yang menyebabkan sifat diuretik.
Ini merupakan bahan penelitian yang bagus untuk major study calon sarjana biologi dan pertanian strata dua.
Sekali ditemukan senyawaan itu berikut cara ekstraksinya dari daging buah, burahol niscaya dapat diusahakan lebih lanjut sebagai tanaman industri sumber minyak wangi seperti kenanga, melati, sitronella, dan lainnya itu.
Tetapi sebelumnya, kita harus bekerja keras agar masyarakat usaha tani mau menanam pohon kepel itu lagi.
Jadi masyarakat dapat memperoleh bahan eksperimen yang cukup banyak dan murah. Mula-mula diharapkan ditanam di kebun pekarangan sendiri masing-masing (oleh perorangan), kemudian di lahan tidur (oleh masyarakat) dan akhirnya juga di lahan kritis (oleh perkumpulan swasta dan LSM pelestari lingkungan).
Daerah yang cocok untuk ditanami kepel ialah daerah kaki pegunungan setinggi 150-300 m di atas permukaan laut.
Tidak usah seluruh lahan diburaholkan (atau dikepalkan), tetapi daerah pinggirannya saja, sebagai tanda batas. Atau tepi jalan yang dibangun di lahan itu, sebagai peneduh.