Transfer Teknologi Endoskopi Antara Jepang dan Indonesia
Meningkatnya kasus-kasus tersebut disebabkan oleh pola makan yang salah dan rokok.
Editor: Eko Sutriyanto
India dipilih karena memiliki kasus gangguan pencernaan yang banyak, sedangkan Vietnam dipilih sebagai tempat pelatihan.
Sedangkan Korea Selatan dan Jepang dijadikan rujukan karena memiliki ilmu dan teknologi endoskopi yang lebih maju.
“Ahli-ahlinya juga cukup banyak,” ujar Dokter Ari.
Sebenarnya, peralatan teknologi endoskopi yang terdapat di Indonesia sudah maju. Beberapa rumah sakit sudah memiliki ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography), endoskopi ultrasound, entroskopi untuk melihat usus halus, dan intra ductal ultrasound untuk memindai batu empedu.
Ada juga manometri untuk meneropong tekanan dalam lambung dan kerongkongan yang biasa terjadi pada penderita penyakit maag dan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease).
Tetapi tidak semua rumah sakit yang memiliki fasilitas tersebut. Ambil contoh peralatan untuk ERCP dimiliki Rumah Sakit (RS) Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (Jakarta) dan RS Kariadi (Semarang), dan rumah sakit swasta di Bandung dan Surabaya.
“Ada dokter endoskopi di suatu rumah sakit tetapi rumah sakit itu tidak memiliki peralatan endoskopi yang canggih,” tutur Ari. Begitu pun sebaliknya.Maka, ia menganggap course yang diselenggarakan PEGI-APSDE bermanfaat bagi peserta.
Sementara itu Prof Hisao Tajiri (President Japanese Gastroenterological Endoscopy Society/JGES) menanggapi dengan mengatakan bahwa pelatihan endoskopi saluran cerna tingkat lanjut yang diberikan tim ahli dari Jepang iniini merupakan bentuk dukungan bagi PEGI.
“Pelatihan hands on ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dokter spesialis penyakit dalam terkait advanced endoscopy di regional, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Di Jepang jumlah dokter ahli endoskopi memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di sana. Menurut Tajiri, di negeri Sakura itu terdapat sekitar 30.000 ahli endoskopi.
Adapun jumlah penduduk Jepang sekitar 127 juta jiwa (data tahun 2016). Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 280 juta tapi hanya memiliki 600 dokter endoskopi.
Pembicara lain dalam temu media itu adalah Prof Seigo Kitano (President Asia Pacific Society of Digestive Endoscopy/APSDE).
Ia mengatakan bahwa pada saat ini terdapat 20 negara yang menjadi anggota APSDE.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang penting dan menjadi prioritas pelatihan endoskopi saluran cerna tingkat lanjut karena jumlah populasi yang besar namun dokter yang menguasai advanced endoscopy masih terbilang sedikit,” katanya.