Kampanye Pentingnya Deteksi Dini Kanker Payudara Harus Terus Dilakukan
Sampai tahun 2017, tercatat Rp2,8 Triliun dikeluarkan negara untuk terapi kanker, dari BPJS Kesehatan.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
![Kampanye Pentingnya Deteksi Dini Kanker Payudara Harus Terus Dilakukan](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/yayasan-mgp-nih2.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya untuk melakukan kampanye akan pentingnya meningkatkan kesadaran deteksi dini terhadap bahaya penyakit kanker, termasuk kanker payudara di seluruh Indonesia harus terus dilakukan.
Hal ini mengingat kanker payudara menduduki peringkat pertama terbanyak di Indonesia, dari semua jenis kanker.
Penyitas kanker, dr Inez Nimpuno mengatakan, menurut proyeksi World Health Organization (WHO), pada tahun 2020-2030 mendatang, 70 persen kasus kanker baru akan terjadi di negara-negara miskin.
Selain itu, sebagian besar pengidap kanker baru akan berobat ketika sudah masuk pada stadium lanjut.
Dimana pada tahap tersebut, kanker telah menyebar ke sejumlah organ tubuh lain.
"Makin lanjut kanker ditemukan, maka akan semakin menyakitkan pada saat pengobatannya. Dampaknya akan semakin berat," ujar Inez saat menjadi pembicara talkshow "Kanker di Era Milenial : Pentingnya Deteksi Dini dan Perbaikan Cancer Care System", yang diselenggarakan oleh Yayasan Millennials Goes Pink (MGP) bersama Bursa Efek Indonesia (BEI), di Gedung BEI, Kamis (15/11/2018).
Baca: Arsul Sani: PPP Ilegal Caper ke Paslon di Pilpres
Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran pada deteksi dini dinilai sangat penting untuk mengurangi kesenjangan kanker secara global, khususnya di kalangan wanita Indonesia.
Menurutnya, banyak tantangan dan persoalan dalam sistem pengobatan kanker di Indonesia.
Salah satunya adalah persoalan akses layanan terapi kanker masih belum maksimal.
Baca: Unggahan Terakhir Terduga Pembunuh Satu Keluarga di Bekasi: Jangan Bingung Mencapai yang Terbaik
Mulai dari deteksi dini yang belum melembaga, kesulitan faskes, kelangkaan obat, hingga antrean pasien saat ini berkonsultasi atau berobat.
"Kanker ini membutuhkan spesialisasi sangat tinggi, sementara terkadang dokter dan alat-alat tidak mencukupi," katanya.
Disamping itu, menurutnya, standarisasi pada pelaksanaan pelayanan kanker masih belum cukup baik.
"Makanya masyarakat masih sering mencari second opinion," ujar Inez.
Baca: TERPOPULER: Angel Lelga Bongkar Sikap Vicky Prasetyo, Pakai Pijat Plus-plus hingga Soal Uang Partai
Lebih lanjut Inez mengatakan, pengobatan penyakit kanker cukup mahal.
Bukan hanya bagi pasien, namun juga cukup membebani negara, melalui sistem BPJS.
Disebutkan, dari data yang dilansir dia, biaya pelayanan kanker memakan sekitar 17 persen dari seluruh biaya jaminan kesehatan nasional.
Sementara untuk pembiayaan obat-obatan kanker, mencapai 43 persen dari seluruh belanja obat untuk semua penyakit.
Sampai tahun 2017, tercatat Rp2,8 Triliun dikeluarkan negara untuk terapi kanker, dari BPJS Kesehatan.
"Jadi kita tidak hanya bisa bersandar pada BPJS. Maka, pencegahan dan deteksi dini sangat perlu dilakukan," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.