Perusahaan Raksasa di Bidang Fotografi Hadirkan Teknologi AI pada Industri Kesehatan
Salah satu penggunaan AI di bidang kesehatan juga mulai diterapkan oleh salah satu perusahaan raksasa bidang fotografi Fujifilm.
TRIBUNNEWS.COM - Industri kesehatan beberapa waktu terakhir memang menghadapi tantangan besar mulai dari peningkatan pelayanan, biaya kesehatan, hingga sumber daya manusia (SDM).
Melihat tantangan tersebut, sebagian besar negara termasuk Indonesia, menilai teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) bisa menjadi solusi.
Penggunaan AI di bidang kesehatan bisa mulai diimplementasikan dalam pemeriksaan kesehatan, seperti peningkatan akurasi diagnosis dan prognosis, pengoptimalan proses di rumah sakit, deteksi otomatis kelainan pada digital imaging, serta bisa juga untuk menemukan pengetahuan media baru dalam pengobatan.
Salah satu penggunaan AI di bidang kesehatan juga mulai diterapkan oleh salah satu perusahaan raksasa bidang fotografi Fujifilm.
Fujifilm telah lama melakukan diversifikasi bisnis, yang salah satu bisnis yang terus ditekuni dan mencatatkan keuntungan bagi korporasi adalah teknologi layanan medis atau kesehatan.
Fujifilm menggabungkan kecanggihan teknologi di bidang pencitraan atau pembuatan film dengan produk teknologi yang dibutuhkan industri kesehatan.
Presiden Direktur Fujifilm Indonesia Masato Yamamoto mengatakan teknologi layanan pemeriksaan kesehatan yang berkualitas akan membantu memudahkan tugas tenaga medis dalam mendiagnosa penyakit sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat.
“Harapan kami, setiap orang dapat menerima perawatan medis berkualitas tinggi,” tutur Masato Yamamoto.
Sejarah Fujifilm di dunia kesehatan
Sebenarnya, sejarah Fujifilm di dunia kesehatan sudah dimulai cukup lama, yakni sejak 1936 silam. Di tahun tersebut, Fujifilm memulai penjualan film sinar-X yang memiliki teknologi pembuatan film atau pemrosesan gambar yang sangat canggih.
Para pemimpin korporasi kemudian menyadari bahwa teknologi ini akan sangat bernilai jika dipadukan dengan layanan kesehatan yang setiap produk atau mesinnya sangat membutuhkan film.
Memanfaatkan keunggulan tersebut, perusahaan pun berhasil melebarkan sayap bisnis di bidang diagnostik melalui Pesawat Sinar X Radiologi Diagnostik, sistem ultrasound, endoskopi, sistem diagnostik in vitro, CT, MRI, hingga PACS. Sekarang, Fujifilm memperluas layanan melalui pemanfaatan kecerdasan buatan atau teknologi AI pada produknya.
Yamamoto menuturkan korporasi melihat bahwa di masa mendatang, informasi klinis akan semakin diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, kebutuhan akan teknologi AI semakin tinggi dalam pengembangan produk yang memenuhi kebutuhan industri perawatan kesehatan yang terus berkembang, terutama di era pascapandemi.
Untuk pengembangan teknologi AI di bidang kesehatan, Fujifilm sudah berkolaborasi bersama banyak pihak untuk mengembangkan penelitian. Pada April 2019, Fujifilm melalui penelitian bersama Universitas Kyoto, mengumumkan keberhasilan mengembangkan teknologi yang menggunakan teknologi AI yang secara otomatis mampu mengkategorikan dan mengukur lesi pneumonia interstisial dengan tingkat presisi yang lebih tinggi.
Studi penelitian ini dimulai Fujifilm dengan menerapkan teknologi AI untuk membantu diagnosis dan penilaian pengobatan pasien dengan pneumonia akibat Covid-19. Selain itu, inisiatif Fujifilm yang lain juga mencakup pengembangan platform AI yang dapat digunakan di ruang gawat darurat, ruang operasi, termasuk selama pemeriksaan sinar-X umum.
Fujifilm memiliki visi tidak hanya mendukung ahli radiologi tapi juga dokter di ruang operasi dan radiografer. Sementara di lini sistem medis, Fujifilm sudah menghubungkan Teknologi Informatika medis sebagai produk serta layanan kesehatan. Seperti contohnya, Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik, endoskopi, ultrasonografi dan sistem diagnostik in vitro.
Berpengalaman dengan Sistem AI lebih dari 20 tahun
Layanan dan peralatan medis yang dipadukan dengan teknologi canggih sejauh ini sudah menjelma sebagai portofolio utama dalam transformasi bisnis Fujifilm.
Pada Juli 2019 lalu, Fujifilm meluncurkan sistem perangkat lunak medis di Jepang. Platform ini akan mempelajari pengetahuan dokter berpengalaman mengenai diagnosa gambar menggunakan teknologi AI.
Dengan keahlian dan kecanggihan yang dimilikinya, Fujifilm juga mengembangkan seri Picture, Archiving and Communication System (PACS), sebuah sistem AI yang mampu mengelola dan menyimpan data gambar di rumah sakit di seluruh dunia.
Sejak peluncuran pertama kalinya pada 1999 silam, setidaknya sistem AI ini telah digunakan di 5.500 fasilitas kesehatan di seluruh dunia. Dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, manajemen gambar dan teknologi pemrosesan sistem AI inilah yang akan digunakan dalam pengembangan teknologi AI Fujifilm ke depannya.
Yamamoto menegaskan para ahli perseroan menganalisa data gambar berkualitas tinggi yang dimiliki Fujifilm sebagai bahan pembelajaran mendalam guna menghasilkan inovasi-inovasi lain yang terkait teknologi AI dan kesempurnaan pencitraan/gambar.
“Salah satu yang menjadi perhatian Fujifilm di dunia kesehatan adalah bagaimana pasien bisa mendapatkan penanganan medis secara cepat, terutama dari hasil pembacaan diagnosis gambar x-ray, seperti hasil foto thorax atau mamografi. Salah satu alat canggih yang juga diproduksi Fujifilm adalah mamografi beresolusi tinggi,” tegas Yamamoto.
Teknologi mamografi atau pemeriksaan sinar-X yang dikembangkan Fujifilm, merupakan salah satu tindak nyata dalam langkah Never Stop Innovating, sebuah kampanye yang kerap digaungkan oleh Fujifilm dalam berkarya.
Teknologi mamografi, memberikan ‘kehidupan kedua’ untuk pasien
Kita tahu, kanker payudara merupakan tumor ganas nomor satu yang menjadi momok bagi kaum perempuan di seluruh dunia. Karena itu, deteksi dini kanker payudara akan berdampak signifikan terhadap tingkat harapan hidup dan kualitas hidup mereka yang menjalani
mamografi. Biasanya untuk mendeteksi kanker payudara, dokter atau ahli onkologi akan menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan x-ray agar dokter dapat melakukan tindakan yang diperlukan secara optimal.
Hal itu dialami Anjani, seorang spesialis konten media sosial, seorang pasien yang didiagnosa menderita kanker payudara. Awalnya, Anjani merasakan ada yang aneh di payudara kanannya, awal tahun 2021 lalu. Anjani sempat merasa tidak ambil pusing. Hasil tes mamografi yang tiap tahun dia lakukan selalu menunjukkan hasil negatif. Namun diakuinya, sepanjang tahun 2020 dia tidak melaksanakan tes mamografi karena terkendala pandemi Covid-19.
Namun, lama kelamaan ia merasa ragu dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan pemeriksaan ke dokter onkologi. Dari dokter onkologi tersebut, dirinya diwajibkan menjalani tes mamografi untuk melihat gambaran kelenjar payudara dan jaringan di sekitarnya apakah tergolong jinak atau ganas. Setelah tes mamografi dilakukan, diketahui bahwa benjolan di payudaranya tergolong ganas dan harus dilakukan treatment medis yang lebih intens oleh dokter bedah onkologi, yakni operasi pengangkatan (mastektomi) pada payudara kanannya.
Dari pengalaman Anjani di atas, hasil tes mamografi yang akurat tentang penggambaran sel- sel ganas yang ada dalam tubuh, akan mampu menentukan ‘kehidupan kedua’ seorang penderita kanker payudara paska operasi. Karena dari hasil tes mamografi itulah, dokter akan bisa menentukan tindakan medis selanjutnya yang perlu diambil sebelum semuanya terlambat.
Di sinilah teknologi mamografi Fujifilm berperan dan berkontribusi dalam deteksi dini kanker payudara. Dengan teknologi mamografi ini, tenaga professional atau ahli medis akan terbantu dalam deteksi dini kelainan pada tubuh pasien. Sementara untuk pasien, juga akan sangat terbantu untuk mendapat diagnosis yang tepat dan akurat terkait penyakit yang dideritanya.
Tujuan seperti inilah yang menjadi salah satu alasan Fujifilm terus meningkatkan resolusi mamografi dan mengurangi beban radiasi bagi pasien selama menjalani tes mamografi.
Usaha ini dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan pencitraan sinar-X dan teknologi pemrosesan gambar yang telah dikembangkan selama lebih dari 80 tahun.
Salah satu yang bisa diandalkan dari teknologi mamografi Fujifilm adalah Digital Mammography. Sistem teknologi peralatan medis yang hanya boleh dioperasikan oleh tenaga profesional ini menggunakan flat panel detector (FPD).
Inovasi canggih ini mampu memproduksi gambar yang jelas lewat penggunaan sinar X-ray dengan dosisi minim dan memberikan kecepatan hasil gambar berkualitas dalam waktu 15 detik saja.
Sistem ini menggunakan software AEC (i-AEC) yang dikombinasikan dengan teknologi untuk menganalisis gambar secara otomatis terhadap masing-masing jenis payudara.
Menggabungkan human intelligence dengan artificial intelligence
Selain itu, teknologi mamografi Fujifilm juga memiliki QC Mamografi, yang berfungsi untuk mengelola data kontrol kualitas pada peralatan mamografi secara terpusat dan lebih cepat. Penggunaan alat ini pun kira-kira hanya memerlukan waktu 10 menit di laboratorium Fujifilm.
Data kontrol ini akan semakin akurat dengan bantuan Fujifilm FCR, sebuah alat radiografi pertama yang mampu mendigitalkan gambar x-ray di dunia. Sistem ini akan memberikan hasil gambar x-ray resolusi tinggi dengan tingkat radiasi rendah.
Dengan ketersediaan teknologi canggih ini, Yamamoto juga meyakinkan tingkat keamanan para pasien yang menggunakan teknologi AI milik Fujifilm. Yamamoto mengatakan, “Keunikan teknologi AI yang dimiliki Fujifilm mampu memadukan antara pendekatan human intelligence (HI) atau kecerdasan manusia dengan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.”
Sebagai total healthcare company yang memiliki teknologi dan pengetahuan yang dikontribusikan pada kesehatan masyarakat, layanan Fujifilm merentang mulai dari pencegahan, diagnosis hingga pengobatan.
Dalam hal ini, FUJIFILM berjanji akan terus berinovasi untuk menawarkan solusi dan menciptakan tatanan dunia yang lebih sehat lewat produk-produk teknologi di bidang kesehatan yang akan menunjang kinerja para ahli atau profesional di bidang medis.