Pemerintah Rencanakan Pusat Karantina untuk TBC, Pakar: Ini Jadi Satu Kemunduran
Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Dicky Budiman menilai mendirikan pusat karantina untuk pasien TBC tidak tepat.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Baru-baru ini muncul wacana dari pemerintah yang akan mendirikan pusat karantina untuk pasien tuberkolosis (TBC).
Pusat karantina ini dibangun bagi pasien TBC dengan tujuan memutus rantai penularan penyakit kepada orang sekitar.
Terkait hal ini, Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Dicky Budiman pun berikan tanggapan.
Menurutnya, mendirikan pusat karantina untuk pasien TBC tidak tepat.
Baca juga: Legislator Komisi IX DPR Putih Sari Bicara Pentingnya Atasi Stigma dan Diskriminasi Pengidap TBC
Karena tidak berbasis pada keilmuan dan riset.
"Contoh wacana yang tidak berbasis keilmuan terkini, tidak berbasis riset, epidemi, berbasis juga pada masukan ahli yang benar, dan ini adalah kemunduran," ungkapnya pada Tribunnews, Rabu (2/8/2023).
Menurutnya, keputusan ini terbilang merugikan dan merupakan kemunduran.
"Saya kritik ini secara tegas kalau ini dilakukan artinya ini akan menjadi satu kemunduran," kata Dicky lagi.
Konsep sanatorium atau karantina khusus untuk TBC ini kata Dicky diketahui ada di abad ke 19 sampai 20 itu.
Upaya ini dilakukan karena belum ada obat yang efektif untuk melakukan terapi penyakit TBC.
Ide utamanya pada saat itu untuk mengisolasi pasien di lingkungan sehat.
"Di mana mereka bisa berisirahat, makan cukup, dan terekspos udara yang segar. Dengan paparan sinar matahari, venitilasi sirkulasi di situ," paparnya lagi.
Umumnya, pasien yang berada di sana karena tinggal di perumahan, status gizi buruk, sosial dan ekonomi yang buruk.
"Tapi pada era modern, pemilihan sanatorium pasien TBC sudah tidak layak, tidak pantas bahkan bisa dikaitkan pada stigma juga HAM," tegasnya.
Jika memang akan diterapkan, menurut Dicky negara dianggap telah gagal melakukan terapi yang memadai.
"Gagal melakukan program secara global terkait TBC, deteksi, terapi dan pemantauan yang gagal dilakukan berbagai level pemerintahan," kata Dicky menambahkan.
Menurutnya, terapi yang efektif untuk penderita TBC sudah ada.
Dan terapi pasien rawat jalan sangat memungkinkan.
"Hanya harus kemampuan kuat, serius, komitmen dari pemerintah. Termasuk pendanaan dalam melakukan deteksi, dan pemantauan," pungkasnya.