Benarkah Gangguan Kesehatan Mental Karena Kurang Iman? Ini Pendapat Dokter Jiwa
Gangguan kesehatan mental sering kali dikaitkan dengan tingkat religius seseorang. Benarkah?
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gangguan kesehatan mental sering kali dikaitkan dengan tingkat religius seseorang.
Biasanya, orang yang mengalami gangguan kesehatan kerap dikaitkan dengan "kurang iman' atau mendekatkan diri pada Tuhan.
Baca juga: Kebiasaan Baca Buku Bisa Dukung Kesehatan Mental Anak
Terkait hal ini, Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi (PKJN RSMM) Nova Riyanti Yusuf beri tanggapan.
Dokter yang akrab disapa dr Noriyu ini ungkap jika dirinya pernah melakukan penelitian pada suatu sekolah.
Penelitian itu menggunakan skala dengan menghitung seberapa religiusnya siswa dihitung dari 1-10.
Baca juga: Acara Safe Space Memperkenalkan Inovasi Kolaboratif untuk Kesehatan Mental dan Seni
"Rata rata 8-10. Mereka merasa sangat religius. Tapi hasilnya stres tinggi, depresi dan lain-lain," ungkap dr Noriyu pada media briefing virtual, Kamis (14/12/2023).
Selanjutnya, dalam penelitian tersebut siswa juga ditanya apakah tahu jika agama melarang bunuh diri.
"Ternyata jawabannya agama saya melarang bunuh diri. Saya baru seputar pertanyaan yang kuantitatif, itu belum saya follow up. Tapi saya mendapatkan rata-rata tinggi, bicara religiusitas, (mereka) memahami betul agama melarang untuk menyerah," jelas dr Noriyu.
Menurut dr Noriyu keberadaan agama dengan kesehatan mental sebenarnya baik.
Pada beberapa pasien, agama bahkan adalah coping mechanism adalah strategi yang dilakukan seseorang untuk mengatasi stres.
Ketika ada menghadapi masalah, Agam menjadi coping mechanism nya.
Namun, sebagian ada orang yang justru menjadikan agama untuk menghakimi dirinya.
"Jadi menghakimi diri sendiri. Ini saya temukan pada pasien. Cara dia menghayati agama malah menghukum dirinya," jelas dr Noriyu.
Menurutnya perlu untuk membaca buku agama yang lebih mengarah pada 'memaafkan' dan 'menerima'.
"Saya pikir perlu membaca buku agama yang mengembalikan. Seperti la tahzan, membuat perspektif berbeda. Tidak menghakimi terhadap diri kita," tutupnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia