Covid-19 Dianggap Rekayasa, Kemenkes: Tidak Ada Bukti!
Narasi yang menyebutkan COVID-19 sebagai rekayasa adalah informasi yang tidak benar
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Klaim mengenai pandemi COVID19 yang disebut sebagai rekayasa kembali menjadi sorotan publik. Narasi lain menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab COVID19 tidak ada. Klaim terkait COVID-19 merupakan rekayasa tersebut masih kerap beredar di media sosial.
Baca juga: Zulhas ke Jokowi: Terima Kasih Pak Sudah Selamatkan Kami dari Covid-19
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Mohammad Syahril, SpP MPH menanggapi bahwa narasi yang menyebutkan COVID-19 sebagai rekayasa adalah informasi yang tidak benar. Sebab, pandemi COVID-19 melanda hampir seluruh negara di dunia, bukan hanya di Indonesia.
“Tidak benar dan tidak ada bukti yang mengatakan seperti itu. Karena masalah pandemi COVID-19 ini di tingkat internasional, bukan masalah Indonesia saja,” terang Syahril dilansir dari website resmi Kemenkes, Selasa (22/10/2024).
Menurut Syahril, hal penting yang harus disyukuri saat ini adalah bahwa Indonesia telah berhasil menangani pandemi COVID-19. Pemerintah, bersama para pemangku kepentingan (stakeholder) dan seluruh elemen masyarakat, bekerja sama untuk mengendalikan COVID-19 sehingga kasus turun dan terkendali.
“Pandemi sudah lewat, statusnya (darurat kesehatan global untuk COVID-19) telah dicabut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO juga menyatakan, pandemi berakhir,” tuturnya.
Baca juga: Covid-19 Dituding Agenda Asing, Pengamat Kesehatan Ungkap Tahapan Penetapan Status Pandemi di Dunia
“Sudah tidak ada pada waktunya lagi dikatakan, kalau pandemi COVID-19 itu sesuatu yang direkayasa. Kita akhirnya dapat melewati masa pandemi dan alhamdulillah, kita bisa menyelesaikan itu dengan baik," sambung Syahril.
Berdasarkan data WHO, lebih dari 760 juta kasus dan 6,9 juta kematian akibat COVID-19 telah tercatat di seluruh dunia sejak Desember 2019. Lebih dari 13 miliar dosis vaksin COVID-19 telah diberikan hingga Juni 2023.
Laporan World Health Statistics 2024: Monitoring Health for the SDGs, Sustainable Development Goals, yang diterbitkan WHO pada 24 Mei 2024, mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 memengaruhi tren harapan hidup saat lahir dan harapan hidup sehat saat lahir.
Harapan hidup menurun, kembali ke tingkat jauh sebelum pandemi terjadi. Pandemi COVID-19 menghapus kemajuan yang telah dicapai dalam upaya meningkatkan harapan hidup selama hampir satu dekade hanya dalam dua tahun.
Pada kurun 2019 dan 2021, harapan hidup global turun 1,8 tahun menjadi 71,4 tahun atau kembali ke angka yang sama pada 2012. Demikian pula, harapan hidup sehat global turun 1,5 tahun menjadi 61,9 tahun pada 2021 atau kembali ke angka pada 2012.
Baca juga: Respons Pakar soal Tes PCR Covid-19 Diragukan Dharma Pongrekun di Debat Cagub Jakarta
Laporan WHO pada 2024 juga menyoroti dampak pandemi COVID-19 yang dirasakan di seluruh dunia. Wilayah Amerika dan Asia Tenggara terkena dampak paling parah, dengan harapan hidup menurun sekitar 3 tahun dan harapan hidup sehat turun 2,5 tahun pada periode 2019 dan 2021.
Wilayah Pasifik Barat terdampak selama dua tahun pertama pandemi, dengan penurunan harapan hidup kurang dari 0,1 tahun dan harapan hidup sehat sebesar 0,2 tahun.