Asal Muasal Kopi Canggah: Kopi Asli dari Subang, Jawa Barat
Muncul satu jenis kopi yang merupakan jenis kopi asli dari Desa Cupunagara, Subang, Jawa Barat. Itu adalah Kopi Canggah.
TRIBUNNEWS.COM – Indonesia memang terkenal sebagai penghasil kopi terbaik di dunia. Dari sekian banyak jenis yang ada pada bumi nusantara ini, muncul satu jenis kopi yang merupakan jenis kopi asli dari Desa Cupunagara, Subang, Jawa Barat. Itu adalah Kopi Canggah.
Kopi yang kini dijual pada kafe-kafe di daerah kota Subang, Bandung, Purwakarta, dan sekitarnya ini cukup disukai berkat rasanya yang unik.
“Rasa Kopi Canggah ini berbeda dengan kopi yang ada di Jawa Barat yang rasanya lebih ke fruity, bisa dibandingin dengan Eropa, dan tingkat keasamannya tinggi. Tapi Kopi Canggah ini dominan manis seperti ada karamelnya, sehingga memiliki keunikannya sendiri,” ujar Angga Maulana (23), Pemilik Coffee Shop Blackhood di Subang.
Rasa manis ini menurut Kepala Desa Cupunagara Wahidin Hidayat ada ketika sejak tiga tahun lalu warganya mulai menanam kopi arabika, selain kopi robusta.
“Kopi arabika khas Desa Cupunagara memiliki rasa manis yang unik karena ditanam di ketinggian di atas 1.200 meter di atas permukaan laut,” ujarnya Wahidin Hidayat.
Menurut Angga, setiap bulannya ia selalu membeli 25 kilogram Kopi Canggah dalam bentuk green bean dan 15 kilogram dalam bentuk roast bean.
Semua Berkat Dana Desa
Dana Desa bisa dibilang memiliki andil yang sangat besar atas keberadaan Kopi Canggah. Sebelum adanya Dana Desa banyak petani kopi yang masih belum memahami betul seperti apa cara yang benar dan tepat, bahkan cenderung tak menguntungkan.
“Sejak dulu, warga Desa Cupunagara sudah menanam kopi, namun hanya menanam jenis kopi robusta. Barulah sejak 3 tahun terakhir ini, warga desa mulai menanam kopi arabika,” ujar Wahidin Hidayat.
Melihat biji kopi memang menjadi salah satu potensi Desa Cupunagara, pemanfaatan dana desa pun dilakukan lewat pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
BUMDes tersebut dimanfaatkan untuk mengelola dua unit usaha. Pertama pengelolaan air bersih dan kedua, pengelolaan biji kopi.
Dari total 300 hektar lahan yang ditanami kopi, sebanyak 100 hektar ditanami arabika, sisanya ditanami kopi robusta.
Dari 100 hektar kopi arabika yang ditanam, baru 15 hektar yang bisa dipanen, sisanya belum panen sebab baru saja ditanam.
Dari lahan tersebut, dihasilkan 30-40 ton biji kopi gelondongan. Sedangkan biji kopi yang diolah menjadi green bean sebanyak 10 ton per tahun.
“Warga Desa Cupunagara belum semuanya teredukasi mengenai cara penanaman hingga pemetikan kopi arabika. Awalnya mereka memetik kopi asal-asalan. Namun setelah melihat potensi kopi arabika yang besar di pasaran, mereka pun mulai belajar menanam dan memetik biji kopi berwarna merah,” ujar Wahidin Hidayat.
Berkat kerberadaan BUMDes, warga Desa Cupunagara pun diberikan penyuluhan dan edukasi bagaimana cara menanam dan memetik biji kopi arabika secara benar.
Biji kopi yang ditampung BUMDes kemudian diolah menjadi kopi dalam kemasan dan menjadi titik awal dari munculnya brand Kopi Canggah khas Desa Cupunagara.
Menyejahterakan Petani Kopi Desa Cupunagara
Manfaat BUMDes tak hanya membuat Kopi Canggah dikenal masyarakat Indonesia secara luas. Hadirnya BUMDes juga membuat petani kopi Desa Cupunagara jadi lebih sejahtera.
Hal ini diakui oleh Tjutju (60), petani kopi yang selama ini menjual biji kopi gelondongan ke tengkulak secara murah sebelum ada BUMDes di desanya.
“Hadirnya BUMDes sangat membantu sebab saya sangat awam di bidang pemasaran. Lagipula saya tidak punya tenaga marketing, bagaimana caranya harus mencari pembeli di luar sana. Sekarang berkat BUMDes, saya bisa menjual lebih tinggi dari tengkulak. Jika di tengkulak dihargai Rp 5.000/kg, sedangkan di BUMDes bisa mencapai Rp 7.000-Rp 9.000/kg,” ujar Tjutju.
Kesejahteraan Tjutju meningkat. Dari sebelumnya hanya bisa memperoleh Rp 1,5 juta per bulan, kini Ia bisa mendapatkan penghasilan menjadi Rp 2,5 juta per bulan, hingga bisa membuka lapangan pekerjaan baru.
“Alhamdulilah, sekarang saya malah bisa membuka lapangan kerja untuk di kebun dan di pengolahan. Jadi saya bisa merekrut orang-orang yang butuh pekerjaan. Inilah yang saya banggakan, saya bisa membantu warga desa,” ujar Tjutju.
Menurut Kepala BUMDes Mukti Raharja, Risma Wahyuni Hidayat (23) lewat usaha kopi dan air isi ulang, keuntungan per bulannya bisa mencapai Rp 10 juta dari modal awal sebesar Rp 50 juta yang berasal dari dana desa.
Selain itu, warga Desa Cupunagara yang tadinya bekerja serabutan kini setelah adanya BUMDes mulai dipekerjakan sebagai pengolah kopi dan bisa memperoleh pemasukan hingga Rp 300.00 per minggu.
Bahkan menurut Jajang Saripudin (42) warga Desa Cupunagara, adanya BUMDes membuat banyak warga mencoba menanam kopi.
“Warga yang tadinya belum menanam kopi, sekarang pun sudah mulai mencoba menanam kopi,” ujar Jajang.
Merambah ke Pariwisata
Selain Kopi Canggah, berkat pemanfaatan dana desa, Desa Cupunagara berpotensi menjadi desa wisata.
Memiliki pemandangan indah berupa perbukitan, lereng, dan sawah, Wahidin Hidayat menungkapkan jika dirinya berupaya mengembangkan desa wisata Puncak Eurad.
“Kedepannya, saya ingin mengintegrasikan desa wisata dengan kebiasaan minum Kopi Canggah,” ujar Wahidin.
Di desa ini ternyata tersebar air terjun di sekitar desa, dan ada kesenian tari Gemyung Jaipong yang bisa jadi nilai plus untuk pariwisata desa ini.
Semua Menjadi Lebih Baik
Tak cuma dari segi kopi dan pariwisata saja, berkat pemanfaatan dana desa kondisi Desa Cupunagara kini menjadi lebih baik.
“Sejak ada dana desa, pembangunan infrastruktur lebih berkesinambungan, seperti jalan tadinya berbatu tanah, apalagi musim hujan banyak kecelakaan, kini sudah beraspal. Walaupun belum sebagian besar, tapi ini sangat membantu terutama ongkos distribusi hasil tani kami,” ujar Jajang.
Tak hanya infrastruktur saja, dana desa juga digunakan Desa Cupunagara untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas kesehatan, pembentukan BUMDes, dan pembangunan saluran air atau drainase.
Pada pemeliharaan fasilitas kesehatan, dua wilayah Desa Cupunagara tercatat telah melaksanakan revitalisasi Posyandu, yang meliputi pemeliharaan dan pembangunan, serta pengadaan ambulans desa untuk mengangkut pasien gawat darurat.
Sedangkan untuk BUMDes selain untuk kopi juga didistribusikan untuk pendiriaan usaha isi air ulang.
Walaupun dekat mata air, tak semua warga Desa Cupunagara terpenuhi kebutuhan air layak minum. Hadirnya BUMDes membuat warga desa memiliki akses lebih mudah membeli air layak minum.
“Kalau beli di pasar, air minum galon harganya Rp 15.000-Rp 20.000 per galon. Sekarang kami warga desa beralih membeli air galon di BUMDes. Selain rasanya sama, harganya juga lebih murah yakni Rp 7.000 dan bisa diantar sampai ke rumah,” ungkap Jajang.
BUMDes Mukti Raharja melalui unit usaha air galon berhasil mengolah air layak minum dan dijual dengan harga murah kepada warga desa.
“Warga desa Cupunagara yang sebelumnya kerjanya serabutan, sekarang sudah bisa memiliki penghasilan Rp. 500 ribu per bulan dengan membantu mengolah air layak minum galonan,” ujar Risma.
Dari penjabaran di atas terlihat potensi Desa Cupunagara ini selain bisa terwujud berkat dana desa, ternyata dapat berkembang bila ada partisipasi aktif dari warga desa.
Berbagai program digulirkan langsung ke desa oleh pemerintah pusat, agar warga desa teredukasi dan meningkat kompetensinya serta memiliki kemauan untuk terus berkembang.
Dengan begitu, desa akan menjadi mandiri, kualitas dan kesejahteraan hidup warga desa pun meningkat.
Penulis: Firda Fitri Yanda