Di Solo, HNW Sebut Budaya Jawa yang Adiluhung Bisa Kuatkan Dakwah Islam yang Rahmatan lil Alamin
Budaya Jawa yang berkorelasi dengan keislaman bisa menghadirkan dakwah yang bijak dan kepemimpinan yang membawa keberkahan untuk kehidupan.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang juga anggota Komisi VIII DPR yang antara lain membidangi keagamaan, menyebutkan nilai-nilai dasar Jawa dan Islam terkait dengan dakwah dan kepemimpinan bukan hal yang saling bertentangan.
Menurutnya, malah budaya Jawa yang adiluhung korelatif dengan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin. Budaya Jawa yang berkorelasi dengan keislaman bisa menghadirkan dakwah yang bijak (bilhikmah) dan kepemimpinan yang membawa keberkahan untuk kehidupan.
“Dalam spirit itu, maka penting bagi para penggiat dakwah dan pencinta budaya Jawa, untuk memahami strategi budaya dalam dakwah dan hadirkan kepemimpinan dengan makin memahami dan menggali budaya terutama budaya Jawa yang korelatif dengan nilai-nilai keislaman,” kata Hidayat Nur Wahid dalam diskusi terbatas dengan tema “Strategi Kebudayaan dalam Dakwah dan Kepemimpinan” di Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Selasa (1/11/2022).
Turut berbicara dalam diskusi ini pakar budaya Jawa dan korelasinya dengan Islam yaitu Dr. Kasori Mujahid (Direktur Lontar Nusantara). Diskusi ini juga diikuti oleh para pegiat budaya nusantara dari paguyuban Sutresno Tosan Aji “Nunggak Semi” dan pegiat sejarah dari Lingkar Studi Lontar Nusantara.
HNW, sapaan Hidayat Nur Wahid, mencontohkan diantara budaya Jawa yang berkorelasi dengan nilai-nilai keislaman, seperti yang termaktub dalam buku Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, nilai-nilai yang diajarkan pujangga Jawa Raden Ngabehi Ronggowarsito soal zaman edan dan pentingnya selalu waspada, dan tokoh Tamansiswa Ki Hadjar Dewantara yang ajarkan prinsip: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Selain itu, terdapat juga nilai-nilai dalam wayang kulit yang dikreasikan oleh Walisongo seperti adanya punokawan serta jimat kalimosodo. Bahkan dalam lakon “wahyu makutoromo”, ada ajaran kepemimpinan yang dibentangkan oleh Ratu Kresno, yang sangat populer dan dikenal dengan istilah “Hastabrata”, yang juga sangat korelatif dengan ajaran Islam.
“Hastabrata” menggambarkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam, yaitu bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang. Menurut HNW, melaksanakan kepemimpinan dengan spirit Hastabrata bisa menghadirkan kepemimpinan sebagaimana diajarkan oleh Islam juga. Dengan Hastabrata, kepemimpinan tidak bisa lepas dari lingkungan kehidupan itu sendiri.
“Hastabrata melambangkan kepemimpinan yang melekat aktif positif dalam kehidupan sehar-hari,” ujarnya.
"Pada malam hari ada kepemimpinan, sebagaimana bulan dan bintang. Pada siang hari ada kepemimpinan terus menghangatkan kehidupan, yaitu matahari. Di mana pun kita berada ada kepemimpinan yang bisa menerima semuanya tapi bermanfaat seperti bumi. Dalam kondisi apapun, kepemimpinan akan hadir dan terus menjaga kehidupan seperti air dan samudra raya. Kepemimpinan juga harus mengayomi dan memberikan keteduhan, seperti awan di langit," tutur HNW.
"Kepemimpinan juga harus berani menegakkan prinsip kehidupan dengan memberikan sangsi bila ada kesalahan, laksana api. Jadi, sangat penting bagi para pegiat dakwah dan pecinta budaya Jawa, untuk membumikan kepemimpinan dalam konteks dakwah dengan merujuk pada Hastabrata,” tegasnya.
Maka, HNW menambahkan, strategi pengukuhan budaya dalam dakwah dan kepemimpinan bisa dilakukan dengan memaksimalkan dan menguatkan partai politik yang mempunyai visi dan komitmen terhadap lestari dan dipraktekkannya nilai-nilai kejawaan sekaligus keislaman yang sudah direkomendasikan para wali, sunan, para pujangga, juga tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, sehingga di antara kegiatan utama partai politik adalah untuk menghasilkan pemimpin yang dengan etikanya siap berada di depan, di tengah, maupun di belakang.
“Strategi budaya yang baik juga ketika kita menjadi partner yang menguatkan peran budaya partai politik, sehingga partai politik tidak hanya berkutat dengan demokrasi prosedural apalagi sekedar jadi ajang perebutan kekuasaan,namun hadir sebagai entitas moral, religius, berkeadaban sehingga semakin korelatif dengan budaya Jawa dan Islam di negara Indonesia dimana kita berada," lanjutnya.
"Melalui partai politik dengan visi seperti itu, bisa dihadirkan kepemimpinan yang tidak terbelah antara kejawaan, keislaman, dan keindonesiaan. Kolaborasi ketiganya sebagaimana diajarkan para wali, pujangga dan tokoh-tokoh bangsa sebagaimana di atas, sudah menjadi bagian dari fakta sejarah yang menghadirkan harmoni, dan menjadi pilar yang menjaga dan menguatkan kehidupan di NKRI," pungkasnya. (*)