Orang Tua Berbohong Tentang Sosok Fiktif Sinterklas, Bolehkah?
Lantas, wajarkah jika buah hati memercayai keberadaan sosok fiktif sinterklas?
Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Bukan rahasia umum lagi kalau sinterklas, pria tua gemuk berbaju merah yang terbang menggunakan kereta bertenaga rusa sebetulnya bukanlah sosok yang eksis di dunia nyata.
Lantas, wajarkah jika buah hati memercayai keberadaan sosok fiktif tersebut? Berapa lama orang tua harus "membohongi" buah hati mereka tentang sinterklas?
"Saya rasa percaya sinterklas tidak berdampak buruk bagi anak kalau kisahnya tentang seseorang akan mendapat kebahagiaan jika berperilaku baik," ujar Dr. Matthew Lorber, Psikolog Anak di Lenox Hill Hospital, New York City, seperti dikutip Tribunnews.com dari Livescience.com.
Menurutnya, orang tua tak perlu khawatir karena hal demikian dapat memincu daya imajinasi anak. "Imajinasi adalah bagian dari proses tumbuh kembang yang normal dan sehat," katanya.
Selain mendorong daya imajinasi, banyak manfaat lain yang dapat orang tua petik.
Imajinasi menstimulasi kemampuan menulis atau menceritakan kisah yang kreatif. Menurut para psikolog, anak yang kurang daya imajinasi justru lebih mengkhawatirkan.
Tiba saatnya nanti, pada umur tertentu, anak akan memahami sendiri keberadaan sang sinterklas sebenarnya.
Biasanya, anak akan mencari tahu dengan menunggu sinterklas datang hingga larut malam atau cukup bertanya kepada orang tua. Saat ditodong pertanyaan tersebut, orang tua harus memastikan anak mereka sudah siap terhadap jawaban sebenarnya yang akan diberikan. Tanyakan apakah mereka masih percaya santa, jika ya, berarti terlalu dini untuk "membongkar" identitas sinterklas.
Jika harus menceritakan sebenarnya, katakan kalau semangat Natal untuk saling berbagi memang benar adanya. Lalu ceritakan tentang St.Nicholas, sosok nyata yang disebut-sebut sebagai sinterklas asli. St.Nicholas adalah sosok berhati dermawan asal Yunani yang gemar memberikan hadiah kepada mereka yang membutuhkan.
Tentunya tak semua anak percaya tentang sinterklas karena memang tidak merayakan Natal atau orang tua tidak mengenalkan sosok tersebut sejak kecil.
Dengan demikian, Matthew menyarankan orang tua untuk memberi pengertian kepada anak tersebut guna menghormati anak-anak yang memercayai keberadaan sinterklas.
Sinterklas boleh saja sebuah fantasi dan sekedar tradisi belaka, namun Matthew mengatakan, "semangat kebersamaan dan berbagi kepada yang membutuhkan adalah hal yang universal."
Daniel Ngantung