Pakar Hukum: Sistem Proporsional Terbuka Timbulkan Praktik Adu Modal dan Keresahan Sosial
sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif setidaknya menimbulkan beberapa persoalan yang memicu keresahan sosial di masyarakat.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan, menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif setidaknya menimbulkan beberapa persoalan yang memicu keresahan sosial di masyarakat.
Satu di antara keresahan sosial tersebut terjadi lantaran tingginya surat suara tidak sah, bahkan di tahun 2019 lalu tercatat 17.503.953 suara tidak sah untuk Pemilu DPR.
“Dengan fenomena ini, maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat nantinya dalam memilih pada Pemilu tahun 2024 yang akan datang, karena khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya menjadi suara yang terbuang," kata Jimmy, Kamis (5/1/2023).
Tidak hanya itu, menurutnya, dengan modal besar yang dikeluarkan masing-masing Caleg, akan meningkatkan ketegangan kompetisi, bahkan berujung konflik dengan teman sendiri pada 1 (satu) Partai.
Seperti yang terjadi pada tahun 2019 lalu, adanya penganiayaan terhadap sesama calon Partai, dalam Pemilihan anggota DPR RI satu Dapil di Provinsi Jawa Timur, begitu juga penganiayaan caleg Kabupaten Tanah Bumbu, yang juga 1 partai.
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah maka akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/Kota dan 38 Provinsi, tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," ujar Jimmy.
Keresahan sosial lainnya yang terjadi, akibat sistem proporsional terbuka ini, yaitu banyak lagi calon legislatif yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa bahkan bunuh diri seperti yang terjadi di tahun 2019, tambahnya.
“Apalagi besarnya modal yang digunakan, dengan asumsi yang besar menjadi pemenang, sementara caleg yang lain juga berani melakukan 'adu modal', akibatnya cost politic menjadi makin besar, menjadikan para calon akhirnya rela berhutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," sambungnya.
Baca juga: Sistem Proporsional Terbuka Diuji MK, Luqman Hakim Nilai para Penggugat Kurang Paham Ilmu Kepemiluan
Menurut Jimmy, secara faktual jika ditelusuri banyak anggota DPRD Kabupaten/Kota, anggota DPRD Provinsi atau bahkan anggota DPR RI telah menggadaikan SK jabatannya ke Bank pasca dilantik.
“Coba saja dikonfirmasi para anggota DPR dan DPRD, hal ini dilakukan demi membayar hutang dari biaya yang telah dikeluarkan” tambahnya.
Sedangkan bagi pemilih, menurut Jimmy, pemilih akan kembali kebingungan dalam melakukan pencoblosan, seperti pada tahun 2019 lalu, sebab dengan adaya 5 (lima) surat suara dalam waktu yang bersamaan, yakni Surat Suara Presiden/Wakil Presiden, Surat Suara Anggota DPR, Surat Suara Anggota DPD, Surat Suara Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kab/Kota, berisikan nama-nama calon yang begitu banyak, akhirnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih, bisa saja, akhirnya melihat pada foto atau karena popular, serta tidak mungkin jika pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah," jelas Jimmy.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.