Sistem Proporsional Terbuka Diuji MK, Luqman Hakim Nilai para Penggugat Kurang Paham Ilmu Kepemiluan
Luqman Hakim menilai para penggugat sistem proporsional terbuka ke MK kurang memiliki penguasaan ilmu kepemiluan, gagal memahami alur pemilu.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim mencermati gugatan terhadap sistem proporsional terbuka yang ada di dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah mencermati seluruh Petitum yang diajukan, Luqman Hakim menilai para penggugat bersama kuasa hukum yang mereka tunjuk, kurang memiliki penguasaan ilmu kepemiluan, gagal memahami alur pemilu.
Sehingga Petitum yang diajukan terlihat irrasional, absurd dan kacau.
"Maka, apabila Petitum yang mereka ajukan dikabulkan MK, akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang," kata Luqman dalam keterangannya, Kamis (5/1/2023).
Adapun para penggugat itu yakni Yuwono Pintadi yang mengklaim dirinya kader Nasdem, kemudian Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono (warga Depok).
Luqman mencontohkan satu petitum yang diajukan penggugat, yakni terhadap Pasal 422 UU Pemilu.
Para penggugat meminta agar bunyi pasal ini diubah menjadi “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Pemilu di suatu daerah pemilihan”.
Sementara naskah asli Pasal 422 UU Pemilu berbunyi: “Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara”.
Menurut Luqman, apabila petitum Pasal 422 UU Pemilu ini dikabulkan MK, akan menimbulkan ketidakpastian siapa anggota partai politik yang berhak menempati kursi parlemen yang diperoleh partai politik.
Baca juga: Surati MK soal Gugatan UU Pemilu Coblos Caleg, NasDem Sebut Yuwono Pintadi Bukan Kadernya
Bahkan, lanjut dia, dengan petitum seperti itu, partai politik yang memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan memiliki kewenangan mengirimkan anggotanya yang tidak menjadi calon legislatif untuk menempati kursi parlemen yang diperoleh partai. Sungguh parah!
"Selain itu, Petitum yang diajukan para penggugat terhadap Pasal 422 juga bertentangan dengan ketentuan afirmasi kepada calon parlemen perempuan sebagaimana diatur pada Pasal 245 dan Pasal 246 UU Pemilu," ujar mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu.
Lebih lanjut, Luqman meyakini keilmuan dan integritas hakim-hakim MK.
Mereka pasti memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat dan akibat-akibat apa yang akan ditumbulkan bagi pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.
"Oleh karena itu, saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat," ucapnya.
"Dengan demikian, maka pelaksanaan pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Tidak akan berubah menjadi proporsional tertutup sebagaimana keinginan para penggugat," tandasnya.