Pengamat Sebut Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Merusak Partai Politik
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka telah merusak parpol.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka telah merusak partai politik (parpol).
Adapun Pangi menjelaskan beberapa alasan terkait pendapatnya tersebut.
Pertama, Sistem Pemilu Proporsional Terbuka membuat calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain.
"Manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan di antara internal caleg," kata Pangi, kepada Tribunnews.com, Rabu (11/1/2023).
Kedua, menurut Pangi, sistem tersebut melemahkan parpol, dikarenakan tidak ada caleg yang benar-benar kampanye menggunakan visi dan misi yang telah disusun partai.
"Masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema, dan narasinya sendiri-sendiri bagaimana berpikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai," jelasnya.
Ketiga, tutur Pangi, Sistem Proporsional Terbuka lebih cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat daripada tautan partai.
"Cenderung memilih presiden ketimbang partai. Senang dengan nama, maka memilih nama dan tidak memilih partai," ujarnya.
Baca juga: Perbedaan Pemilu Sistem Proporsional Terbuka dan Proporsional Tertutup yang Ditolak 8 Parpol
Keempat, Pangi menyebut, Sistem Pemilu Proporsional Terbuka juga menyebabkan rendahnya party-ID.
Ia mengatakan, party-ID hanya sebesar 13,2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.
Pangi menduga, salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka.
"Sepanjang tetap memakai Sistem Proposional Terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah."
Kelima, kata Pangi, Sistem Proporsional Terbuka menyebabkan tingginya split ticket votinf atau tidak tegak lurus antara pilihan partai dan pilihan presiden.
Menurutnya, hal itu adalah bentuk dari kegagalan parpol dalam mengelola isu dan program.