Bawaslu Jabarkan Kerawanan Sebelum Pemilu di LN, dari Politik Uang hingga Ketidaknetralan ASN
Bawaslu RI menjelaskan ada beberapa kerawanan pemilu di luar negeri (LN) sebelum pemungutan suara, seperti politik uang.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menjelaskan ada beberapa kerawanan pemilu di luar negeri (LN) sebelum pemungutan suara.
Potensi kerawanan tersebut, kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, berdasarkan pengalaman penyelenggaran Pemilu 2019 silam.
Potensi kerawanan di LN yang mungkin terjadi mulai dari politik uang, ketidaknetralan ASN, mobilisasi pemilih, hingga logistik.
Potensi kerawanan politik uang ini, jelas Bagja banyak terjadi di daerah-daerah yang banyak WNI sebagai tenaga kerjanya.
Seperti tenaga kerja di perkebunan dan asisten rumah tangga yang berlokasi di Hongkong, Jedah dan Malaysia.
"Kemungkinan ada kerawanannya (politik uang) di negara-negara tersebut, hal itu berdasarkan pengalaman pada pemilu sebelumnya," kata Bagja dalam keterangannya, Jumat (24/2/2023).
Kemudian, Bagja menjelaskan ketidaknetralan ASN atau pihak yang dilarang dalam pasal 280 ayat 2 yang tertuang dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Serta potensi kerawanan mobilisasi pemilih.
"Paling banyak di Malaysia. Ke depan poin-poin penting yang harus diperhatikan seperti negara-negara dengan tingkat kerawanaan tinggi seperti Malaysia, Saudi Arabia, Hongkong," jelasnya.
Baca juga: Bawaslu Dorong Pemilu 2024 Ramah Disabilitas
Lebih lanjut, potensi kerawanan lainnya adalah berkaitan dengan logistik.
"Pada Pemilu 2019 lalu, formulir C6 tidak terdistribusikan di Kuala Lumpur. Salah satu potensi kerawanan sebelum pemungutan suara yakni soal logistik," jelasnya.
"Di Kuala Lumpur pada pemilu lalu ditemukan surat suara tercoblos. Hanya saja saat kami (Bawaslu) mau ambil sudah diambil kepolisian di negara Malaysia dan ketika mau diakses tidak diperbolehkan itu yang menjadi kerawanan pada 2019 lalu," sambungnya.