Jimly Asshiddiqie: Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Harusnya Berlaku di Pilpres 2029
PKPU tentang pencalonan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus tersinkronisasi dengan adanya putusan MK.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Tata Hukum Negara, Jimly Asshiddiqie mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan soal batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) harusnya mulai berlaku di Pemilu 2029.
Putusan tersebut, yakni perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru Re A. Ia meminta MK mengatur batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.
Mantan ketua MK periode 2003-2008 itu mengatakan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus tersinkronisasi dengan adanya putusan tersebut.
Baca juga: Pengamat: Pascaputusan MK, KPU Bisa Langsung Revisi PKPU Tanpa Konsultasi ke DPR dan Pemerintah
Sementara itu, PKPU tersebut telah diterbitkan. Dengan demikian, KPU harus merevisi aturan tersebut apabila ingin diberlakukan di Pilpres 2024.
Adapun aturan soal batas minimal usia capres-cawapres 40 tahun telah diatur melalui Pasal 13 Ayat (1) huruf q PKPU nomor 19 tahun 2023 yang diundangkan, pada tanggal 13 Oktober 2023 tentang pencalonan peserta pemilu, presiden dan wakil presiden.
"Sesudah putusan MK kan ada perubahan PKPU dulu, nah masih sempet enggak KPU mengubah? Karena waktunya sudah pendek sekali," kata Jimly, saat dihubungi, Selasa (17/10/2023).
Selanjutnya, Jimly menganalogikan Pemilu dengan pertandingan sepak bola. Yakni, saat para pemain sudah turun ke lapangan dan bertanding, tapi tiba-tiba ada peraturan yang dikeluarkan oleh FIFA, sehingga menyebabkan kegaduhan.
"Pemilu ini sudah jalan, pendaftaran partai sudah, memang pendaftaran capres-cawapres belum, tapi partai pengusung yang sudah disahkan, yang sudah memenuhi syarat sudah disahkah. Jadi tahapan pemilu ini sudah disahkan," kata Jimly.
"Aturan baru ini kan enggak bener ya kan, maka aturan baru itu harus diberlakukan yang akan datang bukan pertandingan sekarang. Nah, kalau Pemilu pertandingan selanjutnya ya 2029, mestinya kayak gitu," sambungnya.
Untuk diketahui, berdasarkan PKPU Nomor 19 tahun 2023 pendaftaran capres-cawapres berlangsung pada 19-25 Oktober 2023.
Artinya, KPU hanya punya sisa waktu 3 hari untuk bisa mengubah peraturan tersebut, terhitung sejak putusan MK dibacakan.
Terkait hal itu, Jimly menyampaikan, untuk merevisi Pasal 13 Ayat (1) huruf q PKPU nomor 19 tahun 2023 itu, KPU RI diwajibkan berkonsultasi dengan DPR RI dan Pemerintah.
Meski demikian, ia menjelaskan, konsultasi tersebut tidak bersifat mengikat. Sehingga, KPU tidak wajib mengikuti pendapat dari DPR nantinya.
Namun, dalam praktiknya KPU disebut segan jika tidak mengikuti pendapat DPR RI secara mayoritas. Sehingga, hal ini membuat independensi KPU dipertanyakan.
"Sanggup enggak mereka (KPU) mengikuti putusan MK itu dengan mengubah PKPU dengan mengabaikan pendapat-pendapat DPR," kata Jimly.
Terlebih, menurutnya, banyak fraksi yang geram dengan putusan tersebut.
"Kalau dikumpulkan dua kubu. Kubu AMIN (Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar) yakni Nasdem, PKB, PKS ini pada marah semua ini sekarang dengan putusan MK itu. Nah, kubu kedua PDIP plus PPP juga marah dengan putusan MK ini dan jumlahnya dua kubu ini sudah 54 persen," terang Jimly.
Kata Jimly, jika KPU mengabaikan tahapan untuk merevisi PKPU, maka akan menimbulkan masalah. Misalnya, PKPU bertentangan dengan putusan MK.
"Karena putusan MK itu sama dengan undang-undang, maka untuk menilai apakah PKPU itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan UU itu harus dinilai dengan MA, Judical Riview ke Mahkamah Agung (MA)," ucap Jimly.
Selain itu, lanjutnya, jika aturan PKPU tersebut tidak diubah namun Pilpres terus berjalan, hal itu juga akan berpotensi menimbulkan perselisihan.
"Nanti perselisihan hasil pilpres itu kan dibawa ke MK. Nanti MK akan menjadikan putusannya terdahulu sebagai putusan. Bisa saja, capres yang menang tapi tidak memenuhi syarat menurut putusan MK dibatalkanlah oleh MK keterpilihannya. Jadi kemungkinannya masih banyak," jelasnya.
Oleh karena itu, Jimly meminta agar pemerintah memerhatikan stabilitas sistem aturan.
Menurutnya, menata negara dan bangsa agar menjadi satu kesatuan membutuhkan sistem tersebut dan hal itu yang seharusnya dipikirkan oleh para hakim konstitusi sebagai negarawan.
"Supaya dia tidak bertindak di atas kepentingan permainan hidup yang pragmatis sektoral. Tapi dia memikirkan bangsa, maka stabilitas sistem politik, stabilitas sistem norma hukum yang berkeadilan," tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan akan melakukan penyesuaian atau revisi norma PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Hal ini terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres yang diajukan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, pihaknya akan melakukan kajian terhadap putusan MK terbaru itu dan melakukan revisi norma PKPU Nomor 19 Tahun 2023.
"Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebagimana disampaikan tadi KPU akan melakukan kajian terhadap apa yang menjadi amar dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut," kata Hasyim, dalam konferensi pers, di Kantor KPU RI, Senin (16/10/2023) malam.
"Dan akan dilakukan penyesuaian norma di dalam Peraturan KPU Nomor 19 tahun 2023 tentang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden," sambungnya.
Hasyim mengungkapkan, nantinya KPU akan menyusun draft revisi PKPU dan mengonsultasikan kepada DPR dan Pemerintah.
"Nanti kami akan menyusun draft perubahan atau revisi Peraturan KPU tersebut dan kami akan sampaikan pada pemerintah dan kepada DPR, dalam hal ini Komisi II DPR dalam waktu dekat," ungkap Hasyim.
Lebih lanjut, Hasyim menjelaskan, soal konsultasi kepada DPR dan Pemerintah, merupakan sebuah keharusan bagi KPU dalam menyusun peraturannya.
"Seperti yang saya sampaikan tadi, KPU harus meresposnya dengan cara berkirim surat pada dua pihak. Karena kalau dalam UU Pemilu dalam pembentukkan PKPU, kan disebutkan harus berkonsultasi pada DPR dan lembaga pemerintah," kata Hasyim.
"(Draft revisi PKPU) kami sampaikan pada pemerintah dan pada DPR dalam rangka untuk bagaimana sikap (KPU) untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut."
Sebelumnya, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, putusan MK bersifat final dan mencakup kekuatan hukum mengikat.
Sehingga, kata Idham, penyesuaian norma terkait 'berpengalaman sebagai kepala daerah' akan dilakukan terhadap PKPU Nomor 19 tahun 2023.
Sebab, sebelumnya soal batas minimal usia capres-cawapres 40 tahun telah diatur KPU melalui pasal 13 Ayat (1) huruf q PKPU nomor 19 tahun 2023 yang diundangkan pada tanggal 13 Oktober 2023 tentang pencalonan peserta pemilu, presiden dan wapres.
"Bahwa posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu taat dan patuh dalam ketentuan UU Pemilu maupun putusan MK. Sehingga dalam konteks putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, KPU akan melakukan penyesuaian norma dalam PKPU nomor 19 tahun 2023 dengan putusan MK tersebut," kata Idham, dalam konferensi pers, di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Lebih lanjut, Idham juga menjelaskan, dalam hal terdapat 'kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang akan dicalonkan sebagai capres atau cawpares', maka diberlakukan ketentuan pasal 171 Ayat (1) dan (4) UU 7/2017 tentang pemilihan umum (UU Pemilu).
Adapun pasal tersebut mengatur tentang keharusan kepala daerah aktif yang ingin mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres untuk meminta surat izin kepada presiden untuk disampaikan kepada KPU, sebagai dokumen persyaratan pencalonan.
"Seseorang yang sedang menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota yang akan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus meminta izin kepada presiden," demikian bunyi pasal 171 ayat (1) UU Pemilu.
"Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai dokumen persyaratan calon presiden atau calon wakil presiden," demikian bunyi pasal 171 ayat (4) UU Pemilu.