Riset: Warga Katolik Jabodetabek Tak Ingin Polarisasi Terjadi di Pemilu 2024
Polarisasi tersebut secara tidak sadar menumbuhkan trauma politik bagi kelompok-kelompok yang dianggap minoritas seperti komunitas katolik
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pesimisme masih membayangi komunitas umat katolik di area Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi terhadap pemilu 2024.
Pesimisme tersebut terekam dalam mini riset yang dilakukan oleh Ikatan Sarjana Katolik DPD DKI Jakarta. Riset yang dilakukan tersebut berhasil menjaring sejumlah 465 responden dan dilakukan mulai 26 september hingga 26 oktober 2023.
“Riset ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh ISKA DPD DKI Jakarta untuk memetakan optimisme dan pesimisme warga katolik di Jabodetabek terhadap pemilu 2024,” ujar Irene Saptatri, Ketum DPD ISKA DKI Jakarta pada pemaparan hasil riset pada 28 Oktober 2023 di Aula lt. 2 GKP Gereja Santo Ignatius Loyola, Jakarta Pusat.
Dia mengatakan, pemetaan ini penting untuk melihat dan mendorong partisipasi yang tinggi dalam pemilu 2024.
"Pemilu merupakan momentum penting yang akan menentukan arah bangsa Indonesia ke depan,” imbuh Irene.
Baca juga: Peringatan Sumpah Pemuda, Jaringan Perempuan Nusantara Serukan Pemilu 2024, Jujur, Adil dan Damai
Irene juga menjelaskan latar belakang dilakukan riset ini karena adanya polarisasi politik yang terjadi selama dua pemilu terakhir 2014 dan berlanjut pada pemilu 2019. Polarisasi tersebut secara tidak sadar menumbuhkan trauma politik bagi kelompok-kelompok yang dianggap minoritas seperti komunitas katolik ataupun komunitas etnis tertentu seperti etnis tionghoa.
Riset yang dilakukan oleh DPD DKI Jakarta tersebut menunjukkan sebesar 33,6 persen responden pesimis dan 21,1% responden sangat pesimis bahwa pemilu presiden 2024 akan berjalan tanpa adanya ujaran kebencian. Sedangkan dalam melihat kemungkinan adanya penyebaran berita bohong dan hoax sebanyak 38,5 persen responden menyatakan mungkin terjadi dan sejumlah 38,1 persen menyatakan sangat mungkin terjadi.
“Terkait ujaran kebencian juga terdapat prosentase yang cukup tinggi, sebesar 30,5% menilai sangat mungkin terjadi ujaran kebecian. Serta sejumlah 32,5% lainnya menyatakan mungkin terjadinya ujaran kebencian,” ujar Agus Mulyono, Sekum ISKA DPD DKI Jakarta yang juga peneliti dari riset ini.
"Pesimisme terhadap proses selama kampanye tak bisa dilepaskan dari proses dua kampanye terakhir pada 2014 dan 2019. Proses politik yang melahirkan polaritas sebagai dampak marketing politik para kandidat telah membuat luka dan trauma politik pada kelompok minoritas seperti komunitas umat katolik di DKI Jakarta,” Imbuhnya.
Agus menjelaskan polarisasi tersebut merupakan strategi marketing politik yang sengaja dilakukan oleh masing-masing pihak. Menurutnya pembelahan tersebut perlu dilakukan untuk membuat jarak pembeda antar kandidat sehingga pemilih mampu terbentuk loyalitas yang kuat.
Strategi marketing tersebut dilakukan untuk memastikan adanya Brand Differentiation dan Brand Loyalty dari masing-masing kandidat.
“Semakin tinggi brand differentiation dan brand loyalty pada masing-masing kandidat maka potensi untuk mendapatkan pemilih yang loyal semakin tinggi,” imbuh Agus.
“Pada upaya membangun hal tersebut konten yang bernuasa ujaran kebencian dan berita bohong diproduksi oleh para marketer politik ini,” jelasnya.
Meskipun pesimisme terhadap proses kampanye pilpres masih cukup tinggi, namun optimisme terhadap kandidat masih sangat baik. Optimisme terhadap nama-nama kandidat presiden yang beredar sebelum penetapan terlihat cukup baik. Sejumlah 33,8% responden optimis, dan 14,2% sangat optimis bahwa kandidat presiden mampu membawa Indonesia kepada negara yang lebih maju. Hanya sejumlah 4,09% responden sangat pesimis, dan 4,03% pesimis terhadap hal tersebut.
Hal senada juga terlihat dalam optimisme terhadap kapabilitas para kandidat presiden. Sejumlah 36,1% optimis dan sejumlah 11,2% sangat optimis dalam menilai hal tersebut. Hanya tersisa 3,66% responden sangat pesimis dan 7,10% sangat pesimis.
“Dari hasil temuan tersebut terlihat pesimisme muncul terkait proses kampanye politik namun tidak pada kandidat presiden yang sudah muncul. Data tersebut semakin menguatkan trauma selama proses kampanye dan juga diskursus politik setelah terpilih masih belum lekang dari ingatan komunitas umat katolik DKI Jakarta,” jelas Agus.
Temuan ini menurutnya kemudian menyisakan tantangan untuk memastikan partisipasi politik terutama dalam pemilu. Salah satunya berupaya untuk mendorong pemilu yang sehat dengan meminimalisir ujaran kebencian serta polarisasi.
“Riset ini merupakan bagian dari partisipasi aktif ISKA sebagai cendekia yang diawali oleh ISKA DPD DKI Jakarta yang harapannya berlanjut pada aksi lainnya,” ujar Ch. Arie Sulistiono, Sekjend Pengurus Pusat ISKA. “Harapannya tradisi baik ini nanti akan dapat dikembangkan di tingkat nasional,” harap Arie.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.