Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Batas Usia Capres-Cawapres Kembali Digugat ke MK, Gibran Bisa Terjegal? Ini Analisa Lengkapnya

Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa aturan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sudah final.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Batas Usia Capres-Cawapres Kembali Digugat ke MK, Gibran Bisa Terjegal? Ini Analisa Lengkapnya
kolase Tribunews
Mahkamah Konstitusi (MK) (kiri) dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka (kanan). Batas usia Capres-Cawapres kembali digugat, bagaimana nasib pencawapresan Gibran? 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana telah dimaknai oleh MK dalam putusan nomor 90/2023 terhadap UUD 1945.

Perkara ini mengajukan syarat aturan batas minimal usia Capres-Cawapres yang sebelumnya diputus MK melalui Putusan 90/2023.

Adalah Brahma Aryana, mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) yang melayangkan gugatan baru terkait syarat usia capres-cawapres ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Putusan MKMK Pecat Anwar Usman, Ketua TKN Prabowo-Gibran: Kami Hormati dan Patuhi

Sidang gugatan yang diajukan Brahma Aryana telah dimulai pada Rabu (8/11/2023) di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Gugatan Brahma Aryana teregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023.

Brahma Aryana menggugat pasal syarat usia capres-cawapres yang baru saja diubah MK pada 16 Oktober lalu lewat Putusan 90/PUU-XXI/2023.

Pada gugatannya, Brahma meminta frasa baru yang ditambahkan MK pada putusan 90, yaitu "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada" dinyatakan inkonstitusional.

Baca juga: Sekjen Gerindra Nilai Gugatan Etik Terhadap Hakim MK Sebuah Upaya Degradasi Pasangan Prabowo-Gibran

Berita Rekomendasi

Dikutip dari Kompas, Brahma juga meminta pada bagian itu diganti menjadi lebih spesifik, yakni hanya jabatan gubernur.

"Sehingga bunyi selengkapnya 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pilkada pada tingkat daerah provinsi'," kata Brahma dalam gugatannya, dikutip dari situs resmi MK.

Baca juga: Putusan MKMK Tak Halangi Gibran Jadi Cawapres, Ganjar Buka Suara

Pemohon Minta Hakim Anwar Usman Tidak Ikut Mengadili

Brahma Aryana meminta agar gugatan ini tak ikut diadili oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.

"Tadi Yang Mulia bilang akan disampaikan ke hakim-hakim lain. Dalam perkara ini enggak diperiksa Anwar Usman, kan?" tanya Brahma memastikan.

"Baik. Nanti kami sampaikan juga ke hakim-hakim lain dalam RPH," kata Suhartoyo.

Dalam permohonannya, Brahma menyoroti adanya persoalan konstitusionalitas pada frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.

Menurutnya, ada pemaknaan yang berbeda-beda yang menimbulkan ketidakpastian hukum, yakni pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. 

Selain itu, ia juga mempersoalkan terkait 5 hakim yang sepakat mengabulkan permohonan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023. 

Terkait hal itu, secara rinci, ia menyebut, ada 3 hakim yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.

Sedangkan, ada 2 hakim memaknai 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan Gubernur'.

"Hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan karena hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada pilihan pemaknaan tersebut (YM. Prof. Dr. Anwar Usman, YM. Prof. Dr. Guntur Hamzah, dan YM Prof. Manahan MP Sitompul)," tegas Brahma dalam permohonannya, dikutip Tribunnews.com, pada Kamis (2/11/2023).

"Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi' (YM. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih) dan syarat 'berpengalaman sebagai gubernur yang pada persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang' (YM. Dr. Daniel Yusmic P Foekh)," sambungnya.

Brahma menilai, frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan.

Tak hanya itu, Brahma kemudian mengatakan, Putusan 90/PUU-XXI/2023 telah membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden sepanjang sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.

"Bahwa hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia," ucapnya.

Baca juga: Bobby Nasution Cium Tangan Prabowo saat Hadiri Deklarasi Relawan Pengusaha Dukung Prabowo-Gibran

Dalam petitum, Pemohon meminta Mahkamah mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109 Sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan Undang-Undan Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi".

Sehingga bunyi selengkapnya "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi'," demikian bunyi petitum Pemohon 141/PUU-XXI/2023.

Sebagai informasi, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). 

Hal tersebut diatur berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

Jika Ada Perubahan Berlaku di 2029

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa aturan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sudah final.

Hal itu telah ditetapkan MK lewat putusan 90/PUU-XXI/2023.

Jimly juga menambahkan tahapan pencalonan Pilpres 2024 sudah berlangsung dengan tiga pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden dan hanya tinggal menunggu disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Menurutnya, jika ketentuan batas usia itu kembali diubah MK, maka putusannya akan berlaku untuk pemilihan umum tahun 2029.

"Jadi kalau nanti ada perubahan lagi UU sebagaimana diajukan oleh mahasiswa itu, berlakunya nanti di 2029," kata Jimly di Gedung MK, Selasa (7/11/2023).

Analisa Pengamat

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan soal nasib Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto usai putusan etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Selasa (7/11/2023) lalu.

Diketahui dalam putusan etik MKMK itu, Ketua MK Anwar Usman (Hakim Terlapor) yang juga paman Gibran, terbukti melakukan pelanggaran etik.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dengan didampingi Anggota MKMK Wahiduddin Adams dan Bintan R Saragih, dalam Pengucapan Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK pada Selasa (7/11/2023), mengutip mkri.id.

Banyak pihak menilai dengan terbukti adanya pelanggaran etik pada putusan MK itu, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun berpotensi 'lengser' sebagai cawapres Prabowo.

Namun Refly Harun berpendapat lain, posisi Gibran sebagai Cawapres Prabowo tak akan goyah, usai putusan etik MKMK itu.

"Apakah bisa diperiksa ulang putusan MK soal pasal 169? Bisa, undang-undang itu bisa diajukan kembali untuk di-review  oleh delapan hakim konstitusi yang ada," katanya dikutip dari tayangan YouTube Kompas TV, Rabu (8/11/2023).

Namun nantinya hasil review itu hanya berlaku untuk kasus pencapresan ataupun pencawapresan di pemilu ke depan. Dan bukan untuk Gibran.

"Putusan MK itu paling tidak secara implisit dikatakan bisa ditinjau ulang tapi oleh hakim konstitusi itu sendiri, artinya kita ajukan lagi saja kasus yang sama tetapi undang-undang yang dijadikan objek Yudisial Review-nya adalah undang-undang yang sudah ditafsirkan oleh MK," lanjutnya.

Baca juga: Mahfud MD: Gibran Sah Jadi Cawapres Secara Hukum

Putusan MK 90 Legal

Pakar hukum tata negara Sunny Ummul Firdaus mengatakan putusan MKMK tidak mempengaruhi putusan MK mengenai perkara nomor 90/PUU-XII/2023 tentang gugatan batas usia capres dan cawapres.

Oleh karena itu, Gibran Rakabuming Raka tetap bisa maju sebagai cawapres pendamping Prabowo pada Pilpres 2024.

"Secara teoritis, putusan 90 yang dikeluarkan MK tidak akan terpengaruh oleh putusan MKMK karena yang disidangkan (oleh MKMK) adalah perilaku hakim," kata Sunny dalam acara Kacamata Hukum yang ditayangkan di kanal YouTube Tribunnews, Selasa malam, (7/11/2023).

Ketika ditanya tentang legalitas putusan perkara 90 itu, Sunny menegaskan putusan itu tetap legal.

“Secara legalitas, putusan MK nomor 90 itu legal dan bisa digunakan,“ kata akademisi Universitas Sebelas Maret itu.

"Seandainya ada masyarakat yang menginginkan putusan 90 itu tidak diberlakukan atau direvisi, maka ajukan kembali ke MK terkait dengan Pasal 169 tersebut bahwa minta tidak dikembalikan alternatif, dengan tentu saja, dengan legal reason yang bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya menjelaskan.

Sunny mengatakan apabila nanti ada permohonan tidak setuju dengan putusan MK itu dan dikabulkan, hal itu baru akan berlaku pada Pemilu 2029.

Baca juga: Putusan MKMK Pecat Anwar Usman, Ketua TKN Prabowo-Gibran: Kami Hormati dan Patuhi

Oleh karena itu, Sunny menyebut upaya Gibran untuk menjadi cawapres tidak terganggu.

"Jadi, secara legalitas, sekarang capres dan cawapres Prabowo dan Gibran secara legalitas tetap menjadi capres dan bacawapres dalam posisi sudah mendaftarakan diri di KPU."

"Putusan 90 tetap berjalan, tetap legal. Bahkan, sebelum MKMK  bersidang atau pembacaan putusan, ada suatu mekanisme, begitu keluar putusan dari MK karena terkait dengan pemilu, KPU harus membuat PKPU. Peraturan KPU ini harus dikonsultasikan kepada DPR dan ini sudah dilakukan kemarin," ujarnya.

Sunny mengatakan masyarakat patut mengormati apa yang sudah diputuskan oleh MKMK.

“Apa yang sudah diputuskan oleh MKMK ini patut kita hormati karena tidak melihat langsung, tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada saat RPH untuk memutuskan perkara 90," ucapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas