Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fahri Hamzah Ingatkan Akademisi Tidak Terjebak dalam Perdebatan Para Politisi Jelang Pilpres 2024

Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini melihat, dinasti politik itu memiliki terminologi yang berbeda dalam tradisi ototarian dan tradisi demokrasi

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Fahri Hamzah Ingatkan Akademisi Tidak Terjebak dalam Perdebatan Para Politisi Jelang Pilpres 2024
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 Fahri Hamzah mengingatkan, para akademisi untuk tidak terjebak dalam perdebatan isu para politisi menjelang pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

"Apa yang terjadi belakangan ini, sebagai isu dalam Pilpres, kita perlu hati-hati, terutama di dunia akademik. Jangan sampai terjebak sama perdebatannya para politisi," kata Fahri Hamzah saat memberikan Kuliah Umum Ilmu Administrasi Publik di Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Sabtu (18/11/2023).

Baca juga: Kritik Putusan MK dan Tolak Politik Dinasti, Mahasiswa UKI dan MPU Tantular Gelar Aksi

Menurut Fahri, para politisi sengaja memanfaatkan suatu isu seperti dinasti politik, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres sebagai alat kampanye untuk menjatuhkan lawan masing-masing.

"Para politisi ini, terutama menjelang menjelang Pilpres, kerjaannya adalah memanfaatkan momentum yang ada untuk dimodifikasi sebagai bagian dari alat kampanye untuk mengangkat dan menjatuhkan lawan," kata Fahri.

Baca juga: Pakai Kemeja Hijaunya saat Diumumkan Jadi Cawapres Ganjar, Mahfud MD Bicara Dinasti Politik

Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini melihat, dinasti politik itu memiliki terminologi yang berbeda dalam tradisi ototarian (monarki atau kerajaan) dan tradisi demokrasi. 

"Kalau tradisi ototarian itu menurunkan kekuasaannya pada darah dan ini ada dalam tradisi monarki, kerajaan. Tetapi dalam demokrasi itu, disebut keluarga politik, orang yang memilih menjadi politisi seperti keluarga lainnya," ujar Fahri.

Berita Rekomendasi

Sebab itu, peran keluarga Bung Karno (Soekarno) sebagai politisi seperti Megawati Soekarnoputri, Rahmawati Soekaroputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnputra, Puan Maharani dan lain-lain, tidak bisa disebut sebagai dinasti politik, tetapi merupakan keluarga politik.

"Jadi kalau Ibu Megawati yang memimpin PDIP, pernah menjadi Presiden RI ke-5 dan anaknya sekarang Puan Maharani jadi Ketua DPR. Lalu, cucunya juga sebagai calon legislatif, itu bukan dinasti politik, karena kekuasaannya tidak diturunkan pada darah, dipilih atau tidak dipilih. Itu keluarga politik Bung Karno," ujarnya.

Hal ini juga terjadi pada keluarga politisi Ratu Atut Chosiyah di Banten, juga tidak bisa disebut sebagai dinasti politik, tetapi merupakan keluarga politik yang memilih jalur menjadi politisi. 

"Itu sama saja dengan keluarga dosen atau keluarga dokter, yang ingin menjadi dosen atau dokter seperti kakek atau bapaknya. Jadi di dalam demokrasi, orang diberikan kebebasan dalam memilih apapun," ucap Fahri 

Artinya, apa yang terjadi di keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekarang dan menjadi polemik di masyarakat yang dianggap sebagai dinasti politik, bukan merupakan dinasti politik, tetapi keluarga politik.

Di mana kiprah anak-anaknya antara lain Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, serta menantunya Bobby Nasution yang memilih menjadi politisi seperti Jokowi merupakan kebebasan dalam demokrasi.

"Jadi dalam demokrasi itu tidak ada namanya dinasti politik, apalagi dalam demokrasi elektoral. Kekuasaan yang didapat tidak diturunkan, tapi konsekuensinya dipilih atau tidak dipilih, itu saja," katanya.

Fahri menegaskan, bahwa tidak ada aturan dalam konstitusi yang 'ditabrak ' atau dilanggar terkait putusan MK soal batas usia capres-cawapres. Sebab, konstitusinya tidak berubah, tapi yang berubah adalah undang-undangnya saja.

"Karena cara mengubah undang-undang itu gampang. Caranya pertama diusulkan DPR perubahannya, lalu dibahas bersama pemerintah dan terciptalah perubahan undang-undang. Itu bukan masalah bagi DPR, karena memang setiap 5 tahun undang-undang Pemilu selalu diubah. Cara kedua adalah melalui Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan judicial rewiew untuk mengabah satu pasal atau seluruh undang-undang," tandas Fahri. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas