Saat Ganjar Bandingkan Dirinya Dengan Xi Jinping dan Obama Ketika Bahas Pendidikan Politik Parpol
Ganjar Pranowo membandingkan dirinya dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping dengan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Presiden Ganjar Pranowo membandingkan dirinya dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping dengan mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ketika membahas tentang proses pendidikan politik.
Hal itu terjadi saat acara Dialog Publik Muhammadiyah bersama Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Universitas Muhammadiyah Jakarta Cirendeu Tangerang Selatan pada Kamis (23/11/2023).
Awalnya, Ganjar menjawab pertanyaan terkait kualitas demokrasi yang memburuk bahkan dibajak oligarki untuk kepentingan-kepentingan yang tidak demokratis meskipun Republik Indonesia telah melakukan Pemilu berkali-kali.
Karena menurut panelis, apabila menggunakan teori pembangunan politik kualitas demokrasi di Indonesia semakin baik.
Panelis yang menyampaikan pertanyaan tersebut yakni Panelis Bidang Politik dan Demokrasi Prof Dr Ma'mun Murod.
Baca juga: Ganjar-Mahfud Diganjar Cenderamata Anggota Kehormatan Muhammadiyah, Ini Maknanya
Ganjar kemudian menjawab bahwa kualitas demokrasi memang diuji berkali-kali sehingga ada proses demokratisasi.
Demokratisasi, kata dia, mesti melibatkan banyak orang dan apabila situasi dan kondisi tersebut sudah tidak sesuai maka rakyat sebagai pemilik republik yang harus berbicara.
Ketika kemudian banyak kelompok kritis mulai berbicara pada soal-soal itu, artinya kata dia, negara sudah diperingatkan.
Ia lanjut mempertanyakan perihal apakah agenda reformasi sudah berjalan atau belum.
Baca juga: Respons Ganjar dan Anies usai Firli Bahuri Jadi Tersangka Pemerasan SYL
Reformasi, kata Ganjar, terjadi karena pemerintahannya berjalan lama dan dijalankan oleh orang yang sama sehingga muncul pembatasan.
Kemudian, ketika pemerintahannya terlalu sentralistik maka lahirlah otonomi daerah.
Selanjutnya, karena situasinya penuh dengan KKN maka ada semangat anti-KKN sampai menjadi TAP MPR.
Dalam perjalanannya, kata dia, terjadi kompromi.