KPU dan Bawaslu Didorong Untuk Usut Tuntas Temuan PPATK Soal Transaksi Mencurigakan di Pemilu 2024
Temuan PPATK terkait transaksi mencurigakan partai politik disebut fenomena gunung es setiap kali perhelatan pemilu digelar.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi mencurigakan partai politik disebut fenomena gunung es setiap kali perhelatan pemilu digelar.
Hal itu disampaikan Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati dalam keterangannya, Rabu (20/12/2023).
"Potret ini mengindikasikan bahwa aktivitas pemilu mengeluarkan anggaran yang jumlahnya sangat fantastis mulai dari pencalonan, kampanye kemudian nanti sengketa hasil,” ujar Neni.
Sebagaimana diungkapkan PPATK indikasi transaksi mencurigakan muncul dari kejanggalan aktivitas rekening khusus dana kampanye (RKDK).
Arus transaksi di RKDK kata Neni, seharusnya naik karena uang yang tersimpan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan. Namun, saat ini, transaksi melalui RKDK cenderung tak bergerak. Pergerakan uang justru diduga terjadi pada rekening lain.
Neni memandang bahwa hal ini menjadi permasalahan yang sangat serius dan tidak bisa dibiarkan. Jika praktek ini terus didiamkan maka tak nisa diharapkan terciptanya kontestasi yang free and fair election.
Baca juga: Fakta Temuan PPATK Soal Transaksi Mencurigakan Terkait Pemilu 2024, KPU Bakal Tanyakan Lebih Detail
"Karena transaksi janggal tersebut dapat berpotensi digunakan untuk jual beli suara yang akan merusak demokrasi ke depan dan pemilu gagal menjadi momentum untuk melahirkan pemimpin bangsa yang berintegritas dan profetik” tuturnya Neni.
DEEP mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengusut tuntas kasus transaksi janggal temuan PPATK dengan melibatkan aparat penegakan hukum lainnya dan menyampaikan hasil kajiannya kepada publik dengan transparan dan akuntabel.
Baca juga: Menkopolhukam Mahfud MD Sebut Aparat Wajib Selidiki Temuan PPATK soal Transaksi Janggal Pemilu 2024
KPU dan Bawaslu, tegas Nenni, semestinya tidak terjebak pada UU Pemilu yang tekstual dan tafsir minimalis. Seharusnya penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum dapat menggunakan instrumen lain diluar UU Pemilu untuk penindakan yang progresif dan jika terbukti tidak segan untuk memberikan sanksi.
Neni juga menejelaskan dalam Pasal 496 UU 7/2017 menyatakan peserta pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atan ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
"Harapannya proses kajian tidak dilakukan secara asal-asalan hanya untuk menenangkan publik secara sesaat," ujarnya
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.