Dinamika Pemilu 2024 Sarat Manuver, Kombatan Ingatkan PDIP Tak Lengah
Sehingga, tidak dapat dikorbankan dalam suksesi periodisasi politik kekuasaan nasional setiap kurun 20-an tahun, bertepatan dengan Pemilu 2024.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinamika politik dari masa ke masa disebut selalu diwarnai manuver politik devide et impera, adu domba, tipu muslihat.
Hal itu disampaikan Ketua Umum DPN Komunitas Banteng Asli Nusantara (Kombatan) Budi Mulyawan kepada wartawan Selasa (2/1/2024).
Menurutnya, PDI Perjuangan dalam refleksi selama kurun tahun 2023, dinilai sebagai salah satu parpol peserta Pemilu 2024 yang mengalami tragedi politik terburuk dalam sejarah sejak memasuki era reformasi hingga tutup tahun 2023.
Cepi sapaanya menilai, PDI Perjuangan (PDI-P) menghadapi peristiwa pengkhianatan besar dari kader unggulan yang difasilitasi dari mulai maju Walikota Solo hingga menjadi Presiden RI hingga dua periode.
"Joko Widodo alias Jokowi sebagai kader yang diandalkan, faktanya bukan hanya ingkar terhadap yang diamanatkan partai. Tapi, juga berpaling ke partai lain dalam Pilpres di saat dirinya mengalami puncak kejayaan," kata Cepi dalam keterangannya dikutip, Selasa (2/1/2024).
Menurut Cepi, soal kader hengkang dan bergabung ke partai lain, itu bukan hal aneh dalam dunia politik praktis.
Tapi, tragedi politik yang dialami PDI-P selama 2023 terkait Jokowi ini sangat tidak lazim. Apalagi, juga melibatkan anak Jokowi, Walikota Solo Gibran dan menantunya, Bobby Nasution yang Walikota Medan.
Bahkan, kata Cepi, ada kekhawatiran keniscayaan Jokowi dan keluarganya melakukan "perlawanan" terhadap PDI-P, akan jadi preseden buruk dalam budaya politik demokrasi di Tanah Air.
Ironis, lanjut Cepi, partai yang membidani Jokowi dan keluarganya terjun di gelanggang politik kekuasaan justru dijadikan "musuh" politik. Memprihatinkan, kata dia, karena seolah jadi fenomena "politik Malin Kundang" dalam budaya demokrasi partai politik di Indonesia.
"Jokowi setelah menikmati berbagai fasilitas politik istimewa dari partai mulai walikota hingga presiden, ternyata bukan cuma menabrak moral budi pekerti berpoltik demokrasi dengan berpihak ke partai lain dalam Pemilu," ungkap Cepi, yang sebelum mendeklarasikan Kombatan menjadi Ormas Nasionalis, justru jejaring relawan militan Jokowi saat dua kali maju Pilpres.
Cepi juga menegaskan, realita politik Gibran juga mengikuti jejak paradoks Jokowi. Padahal, anak sulung Jokowi ini saat prosesi jadi walikota Solo juga diperjuangkan "all out" PDI-P dan para kader serta konstituante PDI-P di Solo.
Politik kader "malin kundang" itu, kemudian diikuti menantu Jokowi, Bobby Nasution yang jadi Walikota Medan juga difasilitasi PDI-P.
Fakta lebih tragis, lanjut Cepi, justru semua dinamika itu seperti ada kesengajaan menghalalkan pengkhianatan politik dengan disertai berbagai macam manuver yang dapat dinilai merupakan praktik politik culas dan curang.
Efeknya, kata Cepi, tidak hanya melemahkan power partai berbasis ideologi nasionalisme Proklamator Ir Soekarno ini. Namun, identik mendegradasi posisi PDI-P sebagai partai pemenang dua kali Pemilu, yakni 2014 dan 2019.