Beda Gaya Berpolitik SBY dan Jokowi di Penghujung Masa Kekuasaan, Tingkat Kepuasan Ikut 'Bermain'?
Gaya berpolitik di penghujung masa jabatan Jokowi oleh sebagian pihak disebut kontras jika dibandingkan SBY.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan presiden atau menteri bisa berkampanye dalam pemilihan umum (Pemilu), menimbulkan polemik.
Pernyataan itu dinilai sebagian pihak menjadi afirmasi keberpihakannya terhadap pasangan Prabowo-Gibran.
Berbicara di Lanud Halim PK, kemarin, Jokowi mengatakan aktivitas yang dilakukan menteri-menteri dari bidang non politik itu merupakan hak demokrasi.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu.
"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.
Gaya berpolitik di penghujung masa jabatan Jokowi oleh sebagian pihak disebut kontras jika dibandingkan SBY.
Mereka yang mengkritik Jokowi menyatakan, menjelang Pilpres 2014, Presiden SBY tidak pernah memberi sinyal endorsement terhadap Hatta Rajasa yang menjadi Cawapres Prabowo.
Padahal relasi antara SBY dan Hatta lebih dari sekedar politis dan profesional di kabinet, namun juga menjadi besan SBY.
Saat itu komunikasi politik SBY lebih terfokus untuk menjamin penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014 aman, damai, jujur dan adil.
Salah satu upaya SBY untuk mendukung kesuksesan pesta demokrasi 2014 adalah dengan menggelar Forum Commander’s Call untuk menegaskan netralitas TNI dan Polri.
Sedangkan Jokowi di sisi lain, dinilai tidak netral, mulai dari keikutsertaan putranya sebagai cawapres hingga berubahnya aturan batas umur cawapres di MK, yang di-gawangi- adik iparnya, Anwar Usman, yang ketika itu ikut memutuskan dalam sidang.
Harus diakui, Jokowi di akhirnya masa jabatannya memiliki "modal" dengan tingginya kepuasan publik terhadap kinerjanya.
Hal ini dinilai banyak pihak menjadi modal kepercayaan diri untuk "cawe-cawe" di pilpres 2024.
Misalnya saja, Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis survei kepuasan publik atas kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) meningkat menjadi 79,3 persen.
Survei yang dilakukan usai debat ketiga pilpres yakni periode 10-16 Januari 2024. Survei melibatkan 1.200 orang dari seluruh provinsi Indonesia.