Dradjad Wibowo Sebut 3 Pakar Pemeran Film Dirty Vote 'Orang Mahfud', Singgung Sumber Dana
Dalam tulisan ilmiah, deklarasi tentang afiliasi dan bebasnya konflik kepentingan penulis itu sangat vital.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subinto-Gibran Rakabuming Raka memberikan tanggapan terkait film dokumenter Dirty Vote.
Anggota Dewan Pakar TKN Dradjad Wibowo memberikan nilai tersebut memiliki nilai kredibilitas nol.
“Kenapa? Karena mereka tidak mendeklarasikan secara terbuka afiliasi politik dari para narsumnya,” ucap Dradjad kepada wartawan, Senin (12/2/20234).
Menurutnya, dalam tulisan ilmiah, deklarasi tentang afiliasi dan bebasnya konflik kepentingan penulis itu sangat vital.
Baca juga: Film Dirty Vote Disebut Kampanye Hitam, Walhi: Terlalu Jauh dan Mengada-ada
Produser dan narsum film ini gagal dalam hal ini, sehingga nol kredibilitasnya.
Dradjad memberikan alasan mengapa film ini diberi kredibilitas nol.
“Alasannya ketiga narsum pada 23 Mei 2023 diangkat Prof Mahfud MD sebagai anggota tim percepatan reformasi hukum,” ucap dia.
Pada 22 Agustus 2023 Prof Mahfud MD mengumumkan tugas tim selesai.
Ini semua membuktikan adanya afiliasi antara mereka dengan Mahfud MD, baik langsung atau melalui orang dekatnya.
Karena, tidak mungkin Menko ujug-ujug mengangkat seseorang yang dia tidak kenal atau tidak direkomendasikan orang dekat-nya.
“Seseorang juga tidak mungkin menerima penugasan sebagai anggota tim jika tidak ada afiliasi,” tutur Dradjad.
“Orang membuat film dokumenter kan perlu dana. Perlu menyeleksi narsum. Perlu konsultasi sana-sini,” imbuhnya.
Dradjad pun mempertanyakan siapa yg mendanai film itu, dan siapa yang diminta rekomendasi nama-nama nara sumber.
Itu sebabnya kredibilitas film ini nol.
“Saya malas menjawab pertanyaan soal konten. Tapi sekadar untuk menambah bukti nol-nya kredibilitas, kontennya juga diwarnai prasangka buruk,” urainya.
Penunjukkan Pj Gub, misalnya, itu kan perintah Undang-Undang.
Apa mereka ingin dikosongkan tanpa Penjabat Gubernur.
Bukankah justru bisa memicu ketidakstabilan jika ada kekosongan kepemimpinan di banyak provinsi
Kerusakannya lebih besar jika terjadi kekosongan.
“Tuduhan politisasi bansos juga sama. Mensos nya kan mbak Risma, menteri dr PDIP. Kita tahu karakter dia keras. Dia kakak kelas saya satu tahun di SMA V Surabaya,” tukasnya.
“Arek Suroboyo itu kulturnya ya blak-blakan. Dengan karakter pribadi dan kultur Surabaya spt itu, jika dia merasa Presiden Jokowi melakukan politisasi bansos, dia kan bisa blak-blakan bicara. Dia juga bisa mundur. Faktanya kan tidak,” pungkas ekonom senior INDEF itu.
Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil merilis film dokumenter Dirty Vote.
Sutradara Dandhy Laksono mengungkap alasan film ini dirilis dimasa tenang pemilu.
Dirty Vote diketahui tayang mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan akan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal Youtube.
Ia menyebut, karya besutannya akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu.
Diharapkan di tiga hari krusial menuju hari H pencoblosan, film ini memberikan edukasi kepada publik melalui ruang dan forum diskusi yang digelar.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara.” Ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (12/2).
Dandhy mengungkap, berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.
Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira mengatakan, dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil.
Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.
“Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.
20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Film ini dibintangi oleh Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Dalam film ini ketiganya mencoba mengulik sejumlah instrumen kekuasaan yang digunakan untuk memenangkan pemilu sekalipun menabrak tatanan demokrasi.
Koalisi masyarakat sipil mengatakan, penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara. (Tribun Network/ Reynas).