Ada Aturan Batas Waktu PHPU, MK Bakal Maksimalkan 14 Hari Putus Sengketa Pilpres
Suhartoyo mengatakan, berdasarkan sejumlah pengalaman penanganan sengketa pilpres sebelumnya, terdapat banyak sekali permintaan untuk menghadirkan
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menyoroti batas waktu 14 hari yang dimiliki Mahkamah untuk memutus sengketa pilpres.
Suhartoyo menilai waktu 14 hari tidak ideal. Meski demikian, ia berjanji akan memaksimalkan penanganan perkara pilpres dalam waktu yang telah ditentukan tersebut.
Untuk diketahui, batas waktu 14 hari diatur dalam Pasal 475 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tengang Pemilu. Sementara itu, tenggat waktu bagi MK memutus sengketa pileg maksimal 30 hari, dan sengketa pilkada maksimal 45 hari.
"Dalam batas penalaran yang wajar, bisa enggak MK secara komprehensif menangani itu? Dengan berbagai, katanya, kompleksitas kecurangan atau anggapan-anggapan ada kecurangan, bisa enggak dengan waktu 14 hari kira-kira paling nggak 2 perkara (sengketa diputus)?" kata Suhartoyo, kepada wartawan, Rabu (6/4/2024) malam.
"Kita tetap akan optimistis sepanjang yang secara maksimal bisa kami lakukan. Di luar itu kan kadang-kadang itu instrumen yang di luar kemampuan kami," sambungnya.
Suhartoyo mengatakan, berdasarkan sejumlah pengalaman penanganan sengketa pilpres sebelumnya, terdapat banyak sekali permintaan untuk menghadirkan saksi.
Di sisi lain, para pemohon bisa saja menyampaikan puluhan hingga ratusan dalil kecurangan. Namun, Suhartoyo menjelaskan pendapatnya berkaitan dengan waktu 14 hari yang ada.
"Kita bisanya hanya mendengar 15 saksi kan. Iya kan? Yang 2019 coba ingat. Nah sekarang (misalnya) ada 1000 dalil, saksinya harus 1000, kapan kita mau periksa 1000 saksi itu?" ujar Suhartoyo.
Padahal, ia menekankan, setiap dalil harus dibuktikan di dalam persidangan. Di antaranya melalui pembuktian dengan surat, keterangan saksi, hingga ahli.
Terlebih, kata Ketua MK itu, dimensi penyelenggaraan pilpres sangat luas dan kompleks.
Baca juga: Ketua MK: Keputusan Arsul Sani Ikut Sidang Sengketa Pemilu Dibahas di Rapat Permusyarawatan Hakim
Hal ini, menurutnya, berbeda dengan sengketa pileg yang terbatas pada cakupan dapil tertentu, atau pilkada pada cakupan provinsi dan kabupaten/kota tertentu saja, sementara sengketa pilpres mencakup seluruh Indonesia.
"Apa kita mau mendengar 100 saksi, kapan waktunya, 14 hari? Apalagi dua perkara misalnya, bagi dua saja 7 hari kerja dan 7 hari kerja (masing-masing harus sudah putus)," kata Suhartoyo.
Suhartroyo berharap, kekurangan yang terjadi karena keterbatasan waktu yang dimiliki Mahkamah, memperoleh pemakluman.
"Memang ada hal-hal di luar kemampuan MK," tutur Suhartoyo.
"MK secara faktual hanya menyampaikan, kami dengan ada hukum acara bahwa harus memutus dalam 14 hari kerja, kami akan semaksimal mungkin melakukannya," kata Ketua MK Suhartoyo.
Baca juga: Hak Angket DPR Tak Kunjung Bergulir, Apa Penyebabnya?
Sebagai informasi, MK membuka pengajuan permohonan untuk Pilpres paling lama 3 hari setelah pengumuman penetapan perolehan suara oleh KPU. Sedangkan, untuk Pileg paling lama 3 x 24 jam sejak pengumuman perolehan suara oleh KPU.
MK juga telah menggelar simulasi akbar penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024, pada Rabu (6/3/2024).
Simulasi digelar di Aula Lantai Dasar dan Area Lobi Gedung 1, 2, dan 3 MK, Jakarta Pusat.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan, simulasi akbar diikuti pegawai yang tergabung dalam Gugus Tugas Penanganan Perkara PHPU Tahun 2024.
"Simulasi akbar PHPU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD (Pileg) berlangsung sesuai tahapan, mulai dari pra registrasi, pasca registrasi, dan pasca putusan," kata Fajar, dalam keterangannya, pada Rabu ini.
Ia menjelaskan, simulasi pra registrasi terdiri dari pengajuan permohonan, verifikasi berkas, registrasi, dan pengolahan data permohonan, hingga persiapan persidangan.
"Kemudian simulasi pasca registrasi meliputi penyampaian salinan permohonan, panggilan sidang, dan persidangan. Terakhir, tahapan pasca putusan PHPU," jelasnya.
Lebih lanjut, Fajar menenangkan, saat simulasi, beberapa pegawai MK berperan sebagai Pemohon perkara PHPU. Mereka diminta menunjukkan identitasnya.
Baca juga: Ramai-ramai Kritik KPU Gegara Sirekap Setop Tampilkan Diagram Perolehan Suara Pemilu 2024
Selanjutnya, mereka mengambil nomor urut pengajuan permohonan (NUPP), dan menyerahkan berkas, hingga verifikasi berkas di meja registrasi. Setelah itu, berkas diolah oleh petugas sesuai dengan peran dan fungsinya.