Alasan 3 Hakim Dissenting Opinion Putusan MK, Netralitas jadi Sorotan Utama di Sengketa Pilpres 2024
Berikut isi dissenting opinion Hakim Saldi Isra, Hakim Enny Nurbaningsih, dan Hakim Arief Hidayat terkait dengan sengketa Pilpres 2024
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Sebanyak tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memilih menyampaikan dissenting opinion atau berbeda pendapat terkait putusan sengketa Pilpres 2024,
Mereka yakni Hakim Saldi Isra, Hakim Enny Nurbaningsih, dan Hakim Arief Hidayat.
Ketiganya menyatakan dissenting opinion soal keputusan MK yang menolak gugatan Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN).
“Secara pribadi sebagai hakim saya memiliki keyakinan yang berbeda dengan hakim yang lain,” ujar Saldi Isra saat membacakan alasan dirinya menyatakan dissenting opinion di ruang sidang pleno MK di Jakarta pada Senin (22/4/2024).
Ketiga hakim tersebut pun sama-sama menyoroti soal netralitas pemimpin hingga para aparatur negara dalam kontestasi Pilpres 2024.
Berikut isi dissenting opinion ketiga hakim tersebut terkait dengan sengketa Pilpres 2024.
Isi Dissenting Opinion Saldi Isra
Hakim MK Saldi Isra menjelaskan alasan dirinya memberikan dissenting opinion dalam putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, Pemilu harus dijalankan jujur dan adil yang mengatur asas langsung, jujur dan adil (jurdil).
Hal ini, kata Saldi Isra sebagai prinsip kontestasi pemilu dalam UUD 1945.
Baca juga: Soal Airlangga Bagikan Bansos di NTB, MK Sebut Bukan Pelanggaran Pemilu
Konsep Pemilu jujur dan adil ini, kata Saldi Isra, terbagi menjadi dua yakni Pemilu jujur dan adil secara prosedural dan pemilu jujur dan adil secara substansial.
Menurut Wakil Ketua MK ini, keadilan prosedural dalam penyelenggaraan Pemilu tidak serta-merta mencerminkan keadilan substansial.
Secara prosedural, lanjut Saldi Isra, mungkin pelaksanaan pemilu sudah berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan, namun belum tentu adil dalam hal yang substansional.
"Melampaui batas keadilan prosedural itu, asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tidak hendak berhenti pada batas keadilan prosedur semata," ujar Saldi Isra.
Seperti pada masa pemerintahan Soeharto, menurutnya keadilan sudah sesuai dengan prosedural, namun tidak secara substansialnya.