Perbedaan Ideologi Bak Air dan Minyak, PDIP-PKS Dinilai Akan Sulit Bersatu jika Menjadi Oposisi
PDIP-PKS dinilai akan sulit membangun gerakan apabila menjadi oposisi karena dinilai memiliki ideologi yang berbeda, bak air dan minyak.
Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina yang juga Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic), Ahmad Khoirul Umam, berbicara mengenai komposisi pemerintahan mendatang.
Ia berpendapat, apabila PDIP dan PKS menjadi oposisi di pemerintahan baru, itu akan menjadi keuntungan bagi presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Pasalnya, Khoirul menilai PDIP dan PKS ibarat minyak dan air. Keduanya memiliki basis ideologi yang sangat berbeda.
"(Hingga saat ini) setidaknya ada dua partai yang belum terbuka pintu komunikasi untuk bergabung ke pemerintahan, yakni PKS dan PDIP."
"Jika PKS dan PDIP menjadi kekuatan oposisi, maka hal itu akan menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran."
"Karena PDIP dan PKS ibarat air dan minyak, basis ideologinya sangat berbeda bahkan bertolak belakang," kata Khoirul, Jumat (26/4/2024), dilansir WartaKotalive.com.
Menurut Khoirul, PKS dan PDIP adalah dua partai politik besar yang paling berpeluang untuk menjadi oposisi bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Namun, keduanya akan kesulitan membangun gerakan oposisi karena perbedaan ideologi.
"Kedua partai itu memang berpeluang bisa memainkan peran kritis dalam konteks kebijakan publik, namun akan kesulitan untuk membangun gerakan politik oposisional yang solid dan memadai karena ada akar faksinalisme akut akibat perbedaan ideologi," jelasnya.
Di sisi lain, untuk mempertebal kekuatannya, Prabowo-Gibran disebutnya perlu menggandeng partai-partai yang bisa diajak kerja sama, seperti PKB dan Partai NasDem.
Baca juga: PSI Belum Ditawari Posisi Menteri dari Prabowo-Gibran, Raja Juli: Kami Sadar Ukuran Baju
Khoirul menilai kehadiran kedua partai itu akan memberikan kekuatan politik di parlemen.
Ia berpendapat, pendekatan Prabowo dengan NasDem dan PKB akan mengembangkan kekuatan politik pemerintahan baru menjadi sekitar 70 persen kekuatan parlemen.
Jumlah itu dinilai sudah lebih dari cukup untuk sebuah pemerintahan dengan sistem presidensial yang berada di tengah sistem multipartai.
Di samping adanya perkoalisian, Khoirul pun menyebut perlunya partai politik yang berada di posisi oposisi.
"Pemerintahan Prabowo-Gibran hendaknya tetap membuka ruang bagi hadirnya kekuatan oposisi yang memadai, untuk menjaga cheking and balancing system dalam mekanisme demokrasi dan tata kelola pemerintahan," terangnya.
Sejauh ini, PDIP dan PKS merupakan dua dari delapan partai yang lolos ambang batas parlemen Pemilu 2024 yang belum menentukan arahnya di pemerintahan mendatang.
Enam partai lain, telah memastikan dukungannya kepada Prabowo-Gibran.
Termasuk, Partai NasDem dan PKB yang sebelumnya satu barisan bersama PKS di Koalisi Perubahan.
Kekuatan PDIP dan PKS vs KIM
Pada Pemilu 2024 kemarin, PDIP menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak, yaitu 25.387.279 suara (16,72 persen).
Sedangkan PKS menempati urutan keenam dengan 12.781.353 suara (8,42 persen).
Apabila memutuskan menjadi oposisi, keduanya memiliki kekuatan sebesar 38.168.632 suara atau 25,14 persen.
Sementara itu, Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan enam partainya, yaitu Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, NasDem, dan PKB akan memiliki kekuatan yang sulit tergoyahkan.
Jika perolehan suara keenam partai itu pada Pemilu 2024 digabung, maka total suara mereka sebanyak 96.323.696 atau 63,46 persen.
Sebagian artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul: Pengamat Nilai Jika PKS-PDIP Jadi Oposisi Bakal Jadi Keuntungan Prabowo-Gibran, Begini Alasannya.
(Tribunnews.com/Deni)(WartaKotalive.com/Yolanda Putri Dewanti)