Gayus Lumbuun: Dissenting Opinion Tiga Hakim Mahkamah Konstitusi Bentuk Pikiran Jernih
Pendapat berbeda dari hakim MK ini menjadi perhatian masyarakat sehingga ketiganya patut dikatakan kredibel.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim Hukum PDI Perjuangan Prof Gayus Lumbuun menilai tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda adalah orang-orang kredibel.
Pendapat berbeda hakim MK itu terkait putusan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024z
Prof Gayus memandang dissenting opinion bukan tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Tetapi yang ini saya harus mengatakan hakim dissenting opinion itu orang yang kredibel di masyarakat terhadap keputusan MK,” kata mantan Hakim Agung tersebut saat wawancara dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Gedung Tribun Palmerah, Jakarta, Senin (6/5/2024).
Baca juga: Pakar Nilai Legitimasi Pilpres 2024 Tak Kokoh, Karena Ada Dissenting Opinion?
Dia menilai tiga hakim MK tersebut ialah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat belum terlalu lama tetapi punya pandangan kredibel.
Menurutnya, tiga hakim MK ini memilikibpikiran-pikiran yang dapat dipahami oleh masyarakat di dalam dissentingnya.
“Ini tinggi tiga hakim, maksud saya menjelaskan bahwa disenting opinion keputusan tentang hasil proses pemilu ini. Saya tidak mengakui proses pemilu selesai bagi saya,” lanjutnya.
Prof Gayus berpandangan pendapat berbeda dari hakim MK ini menjadi perhatian masyarakat sehingga ketiganya patut dikatakan kredibel.
Pendapat berbeda yang dilontarkan tiga hakim MK ini juga merupakan bentuk pikiran jernih untuk sejarah hukum di Indonesia.
“Seorang Saldi Isra kan satu tokoh masyarakat memang yang berpikir jernih. Yang berpikir independen bagi saya,” tukasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak sengketa pilpres yang diajukan oleh pemohon I, yakni kubu paslon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pemohon II Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Hal tersebut sebagaimana amar putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo (MK), di gedung MK, Jakarta.
"Dalam eksepsi, menolak eksepsi pemohon. Dalam pokok permohonan, Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Suhartoyo membacakan amar putusan, di ruang sidang pleno MK, pada Senin (22/4/2024).
Terdapat 3 hakim konstitusi yang dissenting opinion atau berbeda pendapat, di antaranya Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menilai, dalil kubu Anies-Muhaimin soal dugaan adanya campur tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pencalonan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Gibran, tidak beralasan menurut hukum.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Mahkamah terkait dalil kubu Anies-Muhaimin yang menyatakan KPU selaku pihak termohon diduga tidak netral dalam tahap verifikasi dan penetapan pencalonan Prabowo-Gibran.
"Dalil pemohon yang menyatakan terjadi intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil pemohon mengenai dugaan ketidaknetralan termohon dalam verifikasi dan penetapan pasangan calon yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2, sehingga dijadikam dasar oleh pemohon agar Mahkamah membatalkan atau mendiskualifikasi pihak terkait sebagai peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim konstitusi.
Mahkamah menegaskan, putusan 90 tentang syarat usia capres-cawapres 40 tahun dan berpengalaman sebagai kepala daerah tidak serta merta batal meski adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) 2/MKMK/L/11/2023.
Adapun putusan MKMK tersebut menyatakan hakim konstitusi Anwar Usman melakukan pelanggaran berat etik terkait proses memutus perkara 90/PUU-XXI/2023.
Selain itu, Mahkamah menilai tindakan KPU selaku Termohon dalam menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XX/2023 merupakan upaya Termohon dalam menerapkan dan mempertahankan prinsip jujur dan adil dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024
Sehingga, menurut Mahkamah, perubahan syarat pasangan calon yang diterapkan termohon dalam keputusan KPU Nomor 1378 tahun 2023 dan PKPU 23 tahun 2023 dinilai telah sesuai dengan apa yang diperintahkan Putusan MK 90/2023.
"Sehingga tidak terbukti adanya dugaan keterpihakan termohon terhadap pihak terkait dalam proses penetapan pasangan calon presiden tahun 2024," ucap hakim konstitusi.
Selain itu, Mahkamah juga menyatakan, Presiden Joko Widodo tidak melanggar hukum terkait dugaan politisasi penyaluran bantuan sosial (bansos).
Dalam pertimbangan hukum untuk putusan PHPU yang diajukan pemohon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar itu, Mahkamah berpendapat, tidak menemukan bukti mengenai adanya penyaluran bansos yang menguntungkan paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabumingraka.
Hal tersebut merupakan pertimbangan Mahkamah berdasarkan pernyataan empat menteri yang sempat dipanggil MK untuk memberikan keterangan, beberapa waktu lalu. Di antaranya Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkeu Sri Mulyani, dan Mensos Tri Rismaharini.
"Setidaknya dari keterangan lisan empat menteri dalam persidangan, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan akan bukti adanya maksud atau intensi dari Presiden terkait dengan penyaluran bansos yang dilakukan oleh Presiden dengan tujuan untuk menguntungkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2," kata hakim konstitusi.
Atas alasan tersebut, Mahkamah tidak menilai tindakan Presiden Jokowi soal penyaluran bansos sebagai pelanggaran hukum.
Mahkamah mengaku, tidak menemukan hubungan sebab-akibat antara penyaluran bansos oleh pemerintah dengan dampaknya terhadap paslon Prabowo-Gibran.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tindakan Presiden belum dapat dikategorikan sebagai lelanggaran terhadap hukum positif. Terlebih, dalam persidangan, Mahkamah tidak menemukan bukti-bukti yang meyakinkan adanya korelasi dan hubungan kausalitas antara penyaluran bansos dengan pilihan pemilih," jelas hakim konstitusi.